Selasa, 01 Juli 2008

novel: samng pemimpi



eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
nurulkariem@yahoo.com
MR. Collection's
a
SANG PEMIMPI
Karya Andrea Hirata
Cetakan Pertama, Juli 2006
Penyunting: Imam Risdiyanto
Desain dan ilustrasi sampul: Andreas Kusumahadi
Pemeriksa aksara: Yayan R.H.
Penata aksara: lyan Wb.
Diterbitkan oleh Penerbit Bentang
Anggota IKAPI
(PT Bentang Pustaka)
Jin. Pandega Padma 19, Yogyakarta 55284
Telp. (0274) 517373 - Faks. (0274) 541441
E-mail: bentangpustaka@yahoo.com
Perpustakaan Nasional:
Hirata, Andrea
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Sang pemimpi/Andrea Hirata; penyunting, Imam Risdiyanto.
Yogyakarta: Bentang,
x + 292 hlm; 20,5 cm
ISBN 979-3062-92-4
I. Judul.
2006.
II. Imam Risdiyanto.
813
Didistribusikan oleh:
Mizan Media Utama
Jin. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146
Ujungberung, Bandung 40294
Telp. (022) 7815500 - Faks. (022) 7802288
E-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id
Untuk Ayahku Seman Said Harun,
Ayah juara satu seluruh dunia
* * *
Untuk KMR, yang slalu nyata dalam hidup dan mimpiku....
* * *
"Janganlah menyembah jikalau tidak
mengetahui siapa yang disembah,
jika engkau tidak mengetahui
siapa yang disembah akhirnya cuma
menyembah ketiadaan, suatu sembahan
yang sia-sia."
(Syekh Siti Jenar)
a
Sang Pemimpi
viii
Daftar Isi
ix
Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang
dilantakkan tenaga dahsyat kataklismik. Menggelegak
sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung
di atasnya, langit terbelah dua. Di satu bagian langit,
matahari rendah memantulkan uap lengket yang
terjebak ditudungi cendawan gelap gulita, menjerang
pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan
ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut
yang bisu bertapis minyak, jingga serupa kaca-kaca
gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti
reign of fire, lingkaran api. Dan di sini, di sudut
dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku
terkurung, terperangkap, mati kutu.
Sang Pemimpi
Aku gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama
punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju. Berjingkat-
jingkat di balik tumpukan peti es, kedua kakiku
tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yang merebak dari
peti-peti amis, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahkan
rasa takut.
Jimbron yang tambun dan invalid—kakinya panjang
sebelah—terengah-engah di belakangku. Wajahnya
pias. Dahinya yang kukuh basah oleh keringat, berkilatkilat.
Di sampingnya, Arai, biang keladi seluruh kejadian
ini, lebih menyedihkan. Sudah dua kali ia muntah. la
lebih menyedihkan dari si invalid itu. Dalam situasi apa
pun, Arai selalu menyedihkan. Kami bertiga baru saja
berlari semburat, pontang-panting lupa diri karena dikejar-
kejar seorang tokoh paling antagonis.
Samar-samar, lalu semakin jelas, suara langkah sepatu
terhunjam geram di atas jalan setapak yang ditaburi
kerang-kerang halus.
Kami mengendap. Tersengal Arai memberi saran.
Seperti biasa, pasti saran yang menjengkelkan. "Ikal....
Aku tak kuat lagihhh.... Habis sudah napasku.... Kalian
lihat para-para itu...?"
Aku menoleh cepat. Dua puluh meter di depan
sana teronggok reyot pabrik cincau dan para-para jemuran
daun cincau. Cokelat dan doyong. Di berandanya,
dahan-dahan bantan merunduk kuyu menekuri na-
2
sib anak-anak nelayan yang terpaksa bekerja. Salah satunya
aku kenal: Laksmi. Seperti laut, mereka diam.
Dangdut India dari kaset yang terlalu sering diputar meliuk-
liuk pilu dari pabrik itu.
"Lompati para-para itu, menyelinap ke warung A
Lung, dan membaur di antara para pembeli tahu, aman
3
What a Wonderful World
Aku meliriknya kejam. Mendengar ocehannya,
ingin rasanya aku mencongkel gembok peti es untuk
melempar kepalanya.
"Hebat sekali teorimu, Rai! Tak masuk akal sama
sekali! Jimbron mau kauapakan??!!"
Jimbron yang penakut memohon putus asa.
"Aku tak bisa melompat, Kal...."
Lebih tak masuk akal lagi karena aku tahu di balik
para-para itu berdiri rumah turunan prajurit Hupo, Tionghoa
tulen yang menjadi paranoid karena riwayat perang
saudara. Ratusan tahun mereka menanggungkan
sakit hati sebab kalah bertikai. Dulu, bersama Cina Kuncit,
mereka jadi antek Kumpeni, ganas menindas orangorang
Kek. Kini dimusuhi bangsa sendiri, dikhianati
Belanda, dan dijauhi orang Melayu membuat mereka
selalu curiga pada siapa pun. Tak segan mereka melepaskan
anjing untuk mengejar orang yang tak dikenal.
Aku hafal lingkungan ini karena sebenarnya aku, Jimbron,
dan Arai tinggal di salah satu los di pasar kumuh
...."
Sang Pemimpi
ini. Untuk menyokong keluarga, sudah dua tahun kami
menjadi kuli ngambat—tukang pikul ikan — di dermaga.
Semuanya memang serba tidak masuk akal. Bagaimana
mungkin hanya karena urusan sekolah kami bisa
terperangkap di gudang peti es ini. Aku mengawasi sekeliling.
Pancaran matahari menikam lubang-lubang
dinding papan seperti batangan baja stainless, menciptakan
pedang cahaya, putih berkilauan, tak terbendung
melesat-lesat menerobos sudut-sudut gelap yang pengap.
Aku mengintip keluar, 15 Agustus 1988 hari ini,
musim hujan baru mulai. Mendung menutup separuh
langit. Pukul empat sore nanti hujan akan tumpah, tak
berhenti sampai jauh malam, demikian di kota pelabuhan
kecil Magai di Pulau Belitong, sampai Maret tahun
depan.
Semuanya gara-gara Arai. Kureka perbendaharaan
kata kasar orang Melayu untuk melabraknya. Tapi
lamat-lamat berderak mendekat suara sepatu pantofel.
Aku mundur, tegang dan hening, keheningan beraroma
mara bahaya. Arai menampakkan gejala yang selalu ia
alami jika ketakutan: tubuhnya menggigil, giginya gemeletuk,
dan napasnya mendengus satu-satu.
Bayangan tiga orang pria berkelebat, memutus
sinar stainless tadi dan sekarang pemisah kami dengan
nasib buruk hanya beberapa keping papan tipis. Ketiga
bayangan itu merapat ke dinding, dekat sekali sehingga
4
What a Wonderful World
tercium olehku bau keringat seorang pria kurus tinggi
bersafari abu-abu. Ketika ia berbalik, aku membaca nama
pada emblem hitam murahan yang tersemat di dadanya:
MUSTAR M. DJAI'DIN, B.A.
Aku tercekat menahan napas. Sebelah punggungku
basah oleh keringat dingin. Dialah tokoh antagonis
itu. Wakil kepala SMA kami yang frustrasi berat. Ia Westerling
berwajah tirus manis. Bibirnya tipis, kulitnya putih.
Namun, alisnya lebat menakutkan. Sorot matanya
dan gerak-geriknya sedingin es. Berada dekat dengannya,
aku seperti terembus suatu pengaruh yang jahat,
seperti pengaruh yang timbul dari sepucuk senjata.
Pak Mustar menyandang semua julukan seram
yang berhubungan dengan tata cara lama yang keras
dalam penegakan disiplin. Ia guru biologi, Darwinian
tulen, karena itu ia sama sekali tidak toleran. Lebih dari
gelar B.A. itu ia adalah suhu tertinggi perguruan silat
tradisional Melayu Macan Akar yang ditakuti.
"Berrrrandalll!!"
Ia menekan dengan gusar hardikan khasnya, menjilat
telunjuknya, dan menggosok-gosokkan telunjuk itu
untuk membersihkan emblem namanya yang berdebu.
Aku melepaskan napas yang tertahan ketika ia membalikkan
tubuh.
5
Sang Pemimpi
Sebenarnya Pak Mustar adalah orang penting. Tanpa dia,
kampung kami tak 'kan pernah punya SMA. la salah
satu perintisnya. Akhirnya, kampung kami memiliki Sebuah
SMA, sebuah SMA Negeri! Bukan main! Dulu kami
harus sekolah SMA ke Tanjong Pandan, 120 kilometer
jauhnya. Sungguh hebat SMA kami itu, sebuah SMA
Negeri! Benar-benar bukan main! Namun, Pak Mustar
berubah menjadi monster karena justru anak lelaki satusatunya
tak diterima di SMA Negeri itu. Bayangkan,
anaknya ditolak di SMA yang susah payah diusahakannya,
sebab NEM anak manja itu kurang 0,25 dari batas
minimal. Bayangkan lagi, 0,25! Syaratnya 42, NEM anaknya
hanya 41,75.
Setelah empat puluh tahun bumi pertiwi merdeka
akhirnya Belitong Timur, pulau timah yang kaya raya
itu, memiliki sebuah SMA Negeri. Bukan main. SMA
ini segera menjadi menara gading takhta tertinggi intelektualitas
di pesisir timur, maka ia mengandung makna
dari setiap syair lagu "Godeamus Igitur" yang ketika
mendengarnya, sembari memakai toga, bisa membuat
orang merasa IQ-nya meningkat drastis beberapa digit.
Pemotongan pita peresmian SMA ini adalah hari
bersejarah bagi kami orang Melayu pedalaman, karena
saat pita itu terkulai putus, terputus pula kami dari masa
gelap gulita matematika integral atau tata cara membuat
buku tabelaris hitung dagang yang dikhotbahkan di
6
What a Wonderful World
SMA. Tak perlu lagi menempuh 120 kilometer ke Tanjong
Pandan hanya untuk tahu ilmu debet kredit itu.
Karena itu berbondong-bondonglah orang Melayu,
Tionghoa, Sawang, dan orang-orang pulau berkerudung
ingin menghirup candu ilmu di SMA itu. Tapi
tak segampang itu. Seorang laki-laki muda nan putih
kulitnya, elok parasnya, Drs. Julian Ichsan Balia, sang
Kepala Sekolah, yang juga seorang guru kesusastraan
bermutu tinggi, di hari pendaftaran memberi mereka
pelajaran paling dasar tentang budi pekerti akademika.
"... Ngai mau sumbang kapur, jam dinding, pagar,
tiang bender a ...," rayu seorang tauke berbisik agar
anaknya yang ber-NEM 28 dan sampai tamat SMP tak
tahu ibu kota provinsinya sendiri Sumsel, mendapat
kursi di SMA Bukan Main.
"Aha! Tawaran yang menggiurkan!!" Pak Balia meninggikan
suaranya, sengaja mempermalukan tauke itu
di tengah majelis. "Seperti Nicholas Beaurain digoda
berbuat dosa di bawah pohon?! Kau tahu 'kan kisah itu?
'Gairah Cinta di Hutan'? Guy de Maupassant?"
Sang tauke tersipu. Dia hanya paham sastra sempoa.
Senyumnya tak enak.
"Bijaksana kalau kausumbangkan jam dindingmu
itu ke kantor pemerintah, agar abdi negara di sana tak
bertamasya ke warung kopi waktu jam dinas! Bagaimana
pendapatmu?"
7
Sang Pemimpi
Kapitalis itu meliuk-liuk pergi seperti dedemit dimarahi
raja hantu.
Dan saat itulah Pak Mustar, sang jawara yang temperamental,
tak kuasa menahan dirinya. Tanpa memedulikan
situasi, di depan orang banyak ia memprotes
Pak Balia, atasannya sendiri.
"Tak pantas kita berdebat di depan para orangtua
murid. Bicaralah baik-baik ...," bujuk Pak Balia.
Pak Mustar yang merasa memiliki SMA itu menatapnya
dari atas ke bawah, artinya kurang lebih, "... Sok
idealis. Anak muda bau kencur, tahu apa ...."
Benar saja.
"Saya berani bertaruh, angka 0,25 tidak akan membedakan
kualifikasi anak saya dibanding anak-anak lain
yang diterima, apalah artinya angka 0,25 itu?!"
Anak saya, kata-kata yang ditindas kuat oleh Pak
Mustar. Semua keluarga, dari suku mana pun, menyayangi
anak. Namun, anak lelaki bagi orang Melayu lebih
dari segala-galanya, sang rembulan, permata hati. Ayahku,
yang mengantarku saat pendaftaran itu, berusaha
membekap telingaku dan telinga Arai, anak angkat keluarga
kami, agar tak mendengar pertengkaran yang
sungguh tak patut ini. Tapi aku mengelak. Maka kudengar
jelas argumen cerdas Pak Balia, "0,25 itu berarti
segala-galanya, Pak. Angka kecil seperempat itu adalah
simbol yang menyatakan lembaga ini sama sekali tidak
menoleransi persekongkolan!!"
8
What a Wonderful World
Tersinggung berat, Pak Mustar muntab dan sertamerta
memprovokasi, "Bagaimana para orangtua??
Setuju dengan pendapat itu?!"
la petantang-petenteng hilir mudik sambil bertelekan
pinggang.
"Tanpa saya SMA ini tak 'kan pernah berdiri!! Saya
babat alas di sini!!"
Pak Balia, memang masih belia, tapi ia pengibar
panji ahlakul karimah. Integritasnya tak tercela. Ia seorang
bumiputra, amtenar pintar lulusan IKIP Bandung. Baginya
ini sudah keterlaluan, merongrong wibawa institusi
pendidikan! Guru muda ganteng ini jadi emosi.
"Tak ada pengecualian!! Tak ada kompromi, tak
ada katebelece, dan tak ada akses istimewa untuk mengkhianati
aturan. Inilah yang terjadi dengan bangsa ini,
terlalu banyak kongkalikong!!"
Dada Pak Mustar turun naik menahan marah tapi
Pak Balia telanjur jengkel.
"Seharusnya Bapak bisa melihat tidak diterimanya
anak Bapak sebagai peluang untuk menunjukkan pada
khalayak bahwa kita konsisten mengelola sekolah ini.
NEM minimal 42, titik!! Tak bisa ditawar-tawar!!"
Pidato itu disambut tepuk tangan para orangtua.
Jika wakil rakyat berwatak seperti Pak Balia, maka republik
ini tak 'kan pernah berkenalan dengan istilah studi
banding. Namun, akibatnya fatal. Setelah kejadian
9
Sang Pemimpi
itu, Pak Mustar berubah menjadi seorang guru bertangan
besi. Beliau menumpahkan kekesalannya kepada
para siswa yang diterima.
"Disiplin yang keras!! Itulah yang diperlukan anakanak
muda Melayu zaman sekarang." Demikian jargon
pamungkas yang bertalu-talu digaungkannya.
la juga selalu terinspirasi kata-kata mutiara Deng
Xio Ping yang menjadi pedoman tindakan represif tentara
pada mahasiswa di Lapangan Tiannanmen, "Masalah-
masalah orang muda seperti akar rumput yang kusut.
Jika dibiarkan, pasti berlarut-larut. Harus cepat diselesaikan
dengan gunting yang tajam!!"
Senin pagi ini kuanggap hari yang sial. Setengah jam sebelum
jam masuk, Pak Mustar mengunci pagar sekolah. Beliau
berdiri di podium menjadi inspektur apel rutin. Celakanya
banyak siswa yang terlambat, termasuk aku,
Jimbron, dan Arai. Lebih celaka lagi beberapa siswa yang
terlambat justru mengejek Pak Mustar. Dengan sengaja,
mereka meniru-nirukan pidatonya. Pemimpin para siswa
yang berkelakuan seperti monyet sirkus itu tak lain Arai!!
Pak Mustar ngamuk. la meloncat dari podium dan mengajak
dua orang penjaga sekolah mengejar kami.
Saat itu aku dan Jimbron sedang duduk penuh gaya
di atas sepeda jengkinya yang butut. Sekelompok sis-
10
What a Wonderful World
wi kelas satu yang juga terlambat nongkrong berderetderet.
Hanya aku dan Jimbron pejantan di sana.
"Kesempatan baik, Bron!!" aku girang, celingukan
kiri kanan.
"Tak ada kompetisi!!"
Wajah Jimbron yang bulat jenaka merona-rona seperti
buah mentega.
"Mmhhh ... mmhhaa ... mainkan, Kal!!"
Tak membuang tempo, segera kami keluarkan segenap
daya pesona yang kami miliki secara habis-habisan
untuk menarik perhatian putri-putri kecil semenanjung
itu. Jimbron membunyikan kliningan sepedanya
dan menyiul-nyiulkan lagu sumbang yang tak jelas.
Sedangkan aku, sebagai siswa SMA yang cukup
kreatif, telah lama memiliki taktik khusus untuk situasi
semacam ini, yaitu mengaduk kepalaku dengan minyak
hijau ajaib Tancho yang selalu ada dalam tasku, menyisir
seluruh rambutku ke belakang, lalu dengan tangan dan
tenaga penuh menariknya kembali. Maka muncullah
bongkahan jambul berbinar-binar. Dan inilah puncak
muslihat anak Melayu kampung: di dekat para siswi tadi,
aku berpura-pura menunduk untuk membetulkan
tali sepatu, yang sebenarnya tidak apa-apa, sehingga ketika
bangkit aku mendapat kesempatan menyibakkan
jambulku seperti gaya pembantu membilas cucian. Ah,
elegan, elegan sekali. Sangat Melayu!
11
Sang Pemimpi
Sayangnya, gadis-gadis kecil itu rupanya telah dikaruniai
Sang Maha Pencipta semacam penglihatan
yang mampu menembus tulang-belulang, sehingga bagi
mereka tubuhku transparan. Aku ada di sana, hilir mudik
pasang aksi seperti bebek, tapi mereka tak melihatku,
sebab tak seorang pun ingin memedulikan laki-laki
yang berbau seperti ikan pari.
Dan bukannya mendapat simpati, ketika melakukan
gerakan mengayun jambul dengan sedikit putaran
manis setengah lingkaran seperti aksi Jailhouse Rock
Elvis Presley, aku malah terperanjat tak alang kepalang
karena para siswi di depanku menjerit-jerit histeris. Mereka
menatap sesuatu di belakangku seperti melihat
kuntilanak.
Tak sempat kusadari, secepat terkaman macan
akar, secara amat mendadak, Pak Mustar telah berdiri
di sampingku. Wajahnya yang dingin putih menyeringai
kejam. Aku menjejalkan pijakan langkahku untuk melompat
tapi terlambat. Pak Mustar merenggut kerah bajuku,
menyentakku dengan keras hingga seluruh kancing
bajuku putus. Kancing-kancing itu berhamburan
ke udara, berjatuhan gemerincing. Aku meronta-ronta
dalam genggamannya, menggelinjang, dan terlepas!
Lalu wuttthhhh!!! Hanya seinci dari telingaku, Pak Mustar
menampar angin sebab aku merunduk. Aku berbalik,
mencuri momentum dengan menumpukan seluruh tena-
12
What a Wonderful World
ga pada tunjangan kaki kanan dan sedetik kemudian
aku melesat kabur.
"Berrrandallllll!!!"
Suara Pak Mustar membahana. la serta-merta mengejarku
dan berusaha menjambak rambutku dengan
tangan cakar macannya. Kedua penjaga sekolah tergopoh-
gopoh menyusulnya. Segerombolan siswa, termasuk
Arai dan Jimbron, semburat berhamburan ke berbagai
arah. Dan yang paling sial adalah aku, selalu aku!
Pak Mustar jelas-jelas hanya menyasar aku. Suara peluit
penjaga sekolah meraung-raung menerorku.
Pritt!! Prriiiiiitttt... priiiiiiiiiittttt!!
Aku berlari kencang menyusuri terali sekolah. Pengejarku
juga sial karena aku adalah sprinter SMA Bukan
Main. Seluruh siswa berhamburan menuju pagar, riuh
menyemangatiku karena mereka membenci Pak Mustar.
Seumur-umur aku tak pernah diperhatikan seorang pun
putri semenanjung, namun kini gadis-gadis manis Melayu
itu, yang tadi tak sedikit pun mengacuhkan aku, melolong-
lolong mendukungku.
"Ikal!! Ikal!! Ayo!! Ikal, lari!! Lariiiiiiii...!!"
Tenagaku terbakar. Kulirik sejenak jejeran panjang
tak putus-putus pagar nan ayu, ratusan jumlahnya, berteriak-
teriak histeris membelaku, hanya membelaku
sendiri, sebagian melonjak-lonjak, yang lainnya membekap
dada, khawatir jagoannya ditangkap garong.
13
Sang Pemimpi
"Lari!! Lari Kal!! Lari, Sayang ...."
Oh, aku melambung tinggi, tinggi sekali. Setiap
langkahku terasa ringan laksana loncatan-loncatan anggun
antelop Tibet. Walau gemetar ketakutan tapi aku melesat
sambil tersenyum penuh arti. Bajuku yang tak berkancing
berkibar-kibar seperti jubah Zorro. Aku merasa
tampan, merasa menjadi pahlawan. Dan yang terpenting,
dalam kepanikan itu, sempat kutarik pelajaran moral nomor
tujuh: Ternyata rahasia menarik perhatian seorang
gadis adalah kita harus menjadi pelari yang gesit.
Aku menyeberangi jalan dan berlari kencang ke
utara, memasuki gerbang pasar pagi. Pak Mustar bernafsu
menangkapku, jaraknya semakin dekat. Aku ketakutan
dan tergesa-gesa meloncati palang besi parkir sepeda.
Celaka! Salah satu sepeda tersenggol. Lalu tukang
parkir terpana melihat ratusan sepeda yang telah dirapikannya
susah payah, rebah satu per satu seperti permainan
mendirikan kartu domino, menimbulkan kegaduhan
yang luar biasa di pasar pagi. Aku terjerembap,
bangkit, dan pontang-panting kabur.
Kejar-kejaran semakin seru saat aku melintasi pelataran
dengan pilar-pilar menjulang yang dipenuhi pedagang
kaki lima. Aku melesat meliuk-liuk di antara
gerobak sayur dan ratusan pembeli. Pak Mustar dan
komplotannya lekat di belakangku. Suara peluit menjerit-
jerit. Orang-orang berteriak gaduh. Aku berbelok tajam
ke gang permukiman Kek yang panjang, berlari se-
14
What a Wonderful World
kencang-kencangnya hingga mencapai akselerasi sempurna.
Pak Mustar ketinggalan di belakangku, semakin
lama semakin jauh.
Sebenarnya aku dapat lolos jika tak memedulikan
panggilan sial ini, "Ikal!! ... Ikal!!"
Aku berbalik dan tepat di sana, lima belas meter
dariku, baru saja berbelok dari sebuah mulut gang, Jimbron
dan Arai terengah-engah saling berpegangan. Jika
berlari, Jimbron yang invalid harus dibopong. Mereka
yang tadi semburat tak menyadari arah pelariannya melintasi
jalur perburuan Pak Mustar.
"Ikal... tolong, Kal.... Tolong ...."
Aku terkesiap, kasihan, dan kesal.
"Biang keladi! Cukup sudah aku dengan tabiatmu,
Rai. Lihat! Macan itu akan menerkammu!!"
Melihat sasaran nomplok tiba-tiba muncul di depannya,
Pak Mustar sumringah dan kembali bernafsu
memburu kami. Jimbron dan Arai terseok-seok tak berdaya.
Aku ingin menyelamatkan Jimbron walaupun
benci setengah mati pada Arai. Aku dan Arai menopang
Jimbron dan beruntung kami berada dalam labirin gang
yang membingungkan. Kami menyelinap, hingga akhirnya
di gudang peti es inilah kami terperangkap.
15
Pak Mustar dan kedua penjaga sekolah mondar-mandir
di luar tanpa menyadari kami ada di dalam gudang peti
Sang Pemimpi
es. Tatapanku lekat pada setiap gerakan kecil Pak Mustar.
Seakan dapat kurasakan setiap tarikan napasnya.
Aku memiliki gambaran jelas tentang karakter orang
seperti Pak Mustar. Pria-pria berwajah manis dan kekejaman
mereka yang tak terbayangkan. Aku pernah mengunjungi
uwakku yang menjadi sipir di penjara Karimun.
Di penjara itu kulihat pesakitan yang sangar, sok
jago, dekil, omong besar, dan bertato di sana sini berada
di blok A, dikurung beramai-ramai seperti ayam karena
mereka tak lebih dari pencuri ayam atau tukang nyolong
jemuran. Namun, mereka yang sampai hati merampok
TKW atau membunuh tanpa melepaskan rokok di mulutnya,
berada di blok B, sel isolasi.
Penghuni blok B adalah pria-pria kecil yang rapi,
pintar, bersih, santun lisannya, dan manis sekali senyumnya.
Sejarah menunjukkan bahwa Alexander
Agung yang membakar ribuan wanita dan anak-anak,
Cortez yang membantai orang Indian sampai menggenangkan
darah setinggi lutut, semua penjagal yang disebut
legenda itu tak lain adalah pria-pria tampan berwajah
manis. Maka berurusan dengan Pak Mustar aku
menyadari bahwa kami sedang berada dalam situasi
yang tak dapat diduga.
Tapi aku tak tahan di kandang mendidih berbau
amis ini. Pun aku tak melihat celah untuk lolos. Aku
menunggu keajaiban sebelum menyerahkan diri. Dan
16
What a Wonderful World
ia tak datang, harapanku habis. Aku berjalan menuju
pintu gudang diikuti Jimbron yang terpincang-pincang.
Tapi tiba-tiba kami terperanjat karena dentuman knalpot
vespa Lambretta. Dan kami panik tak dapat menguasai
diri. Benar-benar sial berlipat-lipat sebab penunggang
vespa itu adalah Nyonya Lam Nyet Pho, turunan prajurit
Hupo, semacam capo, ketua preman pasar ikan. Ia
pemilik gudang ini dan penguasa 16 perahu motor. Anak
buahnya ratusan pria bersarung yang hidup di perahu
dan tak pernah melepaskan badik dari pinggangnya. Beperkara
dengan nyonya ini urusan bisa runyam. Karena
kami telah menyelinap dalam gudangnya, pasti ia akan
menuduh kami mencuri.
Nyonya Pho bertubuh tinggi besar. Rambutnya tebal,
disemir hitam pekat dan kaku seperti sikat. Alisnya
seperti kucing tandang. Bahunya tegap, dadanya tinggi,
dan raut mukanya seperti orang terkejut. Sesuai tradisi
Hupo, ia bertato, lukisan naga menjalar dari punggung
sampai ke bawah telinga, bersurai-surai dengan tinta
Cina. Bengis, tega, sok kuasa, dan tak mau kalah tersirat
jelas dari matanya.
Lima orang pembantu setia Nyonya Pho—Parmin,
Marmo, Paijo, Tarji, dan Nasio—membuka pintu gudang.
Gagal menjadi petani jagung, para transmigran
ini bermetamorfosis jadi kuli serabutan. Mesin Lambretta
dimatikan dan aku diserang kesenyapan yang meng-
17
Sang Pemimpi
giriskan. Jimbron memeluk kedua kakinya dan mulai
terisak-isak. Tubuhku merosot lemas. Nasib kami di
ujung tanduk. Namun dalam detik yang paling genting,
aku terkejut sebab ada tangan mengguncang pundakku,
tangan Arai.
"Ikal!" bisiknya sambil melirik peti es.
Aku paham maksudnya! Luar biasa dan sinting!!
Itulah Arai dengan otaknya yang ganjil. Aku suspense.
Otakku berputar cepat mengurai satu per satu perasaan
cemas, ide yang memacu adrenalin, dan waktu yang
sempit. Arai mencongkel gembok dan menyingkap tutup
peti. Wajah kami seketika memerah saat bau amis
yang mengendap lama menyeruak. Isi peti mirip remahremah
pembantaian makhluk bawah laui. Sempat terpikir
olehku untuk mengurungkan rencana gila itu, tapi
kami tak punya pilihan lain.
"Ikal! Masuk duluan!" perintah Arai sok kuasa.
Tatapanku berkilat mengancam Arai. Ingin sekali
aku membenamkan kepalanya ke mulut ikan hiu gergaji
raksasa yang menganga di depanku. Itu penyiksaan karena
berarti aku harus bersentuhan langsung dengan balok
es di dasar peti dan menanggung beban tubuh Jimbron
dan Arai. Berat Jimbron sendiri tak kurang dari 75 kilo.
"Tak adil! Ini idemu Rai, kau masuk duluan!!"
"Jangan banyak protes! Badanmu paling kecil. Kalau
tak masuk duluan, Jimbron tak bisa masuk!!"
18
What a Wonderful World
Aku merasa in charge. Aku pemimpin pelarian ini,
maka hanya aku yang berhak membuat perintah. "Tak
sudi! Bagaimana pendapatmu, Bron?"
Arai jengkel. "Ini bukan demokrasi! Atau kau mau
berurusan dengan Capo?!"
Aku melongok ke dasar peti. Aku tak sanggup.
"Tak bisa, Rai! Bisa kudisan aku kena umpan busuk
itu...."
Arai menyeringai seperti jin kurang sajen. Habis
sudah kesabarannya dan meledaklah serapah khasnya
yang legendaris.
"Kudisan?!! Kudisan katamu? Kau tak punya wewenang
ilmiah untuk menentukan penyakit!!"
"Masuk!!"
Aku merasakan siksaan yang mengerikan ketika
dua tubuh kuli ngambat dengan berat tak kurang dari
130 kilo menindihku. Tulang-tulangku melengkung. Jika
bergeser, rasanya akan patah. Setiap tarikan napas perih
menyayat-nyayat rusukku. Perutku ngilu seperti teriris
karena diikat dinginnya sebatang balok es. Aku menggigit
lenganku kuat-kuat menahan penderitaan. Bau
anyir ikan busuk menusuk hidungku sampai ke ulu hati.
Tatapan nanar bola mata mayat-mayat ikan kenangka
yang terbelalak dan kelabu membuatku gugup.
Nyonya Pho dan pembantunya memasuki gudang.
"Min, Mo, angkut yang ini!"
19
Sang Pemimpi
Peti itu miring—kami tercekat—tapi sama sekali
tak terangkat. Pembantu Nyonya Pho mencoba berkalikali,
masih tak terangkat. Peti itu membatu seperti menhir
keramat. Nyonya Pho kecewa berat. Di luar gudang
Pak Mustar dan dua orang penjaga sekolah tadi tengah
duduk merokok. Aku membayangkan sebuah kejadian
janggal dan belum sempat kucerna firasatku, kejanggalan
itu benar terjadi. Suara Nyonya Pho kembali menggelegar
seperti pengkhotbah di puncak Bukit Golgota.
"Bujang! Tolong sini! Angkat peti ini ke stanplat.
Daripada kalian merokok saja di situ, aya ya ... tak berguna!"
Sekarang delapan orang memikul peti dan peti
meluncur menuju pasar pagi yang ramai. Di sekitar peti
tukang parkir berteriak-teriak menimpali obralan pedagang
Minang yang menjual baju di kaki lima. Klakson
sepeda motor dan kliningan sepeda sahut-menyahut
dengan jeritan mesin-mesin parut dan ketukan palu para
tukang sol. Lenguh sapi yang digelandang ke pejagalan
beradu nyaring dengan suara bising dari balon kecil
yang dipencet penjual mainan anak-anak. Di punggungku
kurasakan satu per satu detakan jantung Jimbron,
lambat namun keras, gelisah dan mencekam.
Berbeda dengan Arai. Waktu peti melewati para
pengamen ia menjentikkan jemarinya mengikuti kerincing
tamborin. Dan ia tersenyum. Aku mengerti bahwa
20
What a Wonderful World
baginya apa yang kami alami adalah sebuah petualangan
yang asyik. la melirikku yang terjepit tak berdaya,
senyumnya semakin girang.
"Fantastik bukan?" pasti itu maksudnya.
Aku merasa takjub dengan kepribadian Arai. Tatapanku
menghujam bola matanya, menyusupi lensa,
selaput jala, dan iris pupilnya, lalu tembus ke dalam lubuk
hatinya, ingin kulihat dunia dari dalam jiwanya.
Tiba-tiba aku merasa seakan berdiri di balik pintu, pada
sebuah temaram dini hari, mengamati ayahku yang
sedang duduk mendengarkan siaran radio BBC. Lalu
lagu syahdu "What a Wonderful World" mengalir pelan.
Seiring alunan lagu itu dari celah-celah peti kusaksikan
pasar yang kumuh menjadi memesona. Anak-anak kecil
Tionghoa yang membawa kado melompat-lompat harmonis
bermain tali dikelilingi gelembung-gelembung
busa. Lalu-lalang kendaraan adalah serpihan-serpihan
cahaya yang melesat-lesat menembus fatamorgana aurora.
Burung-burung camar mematuki cumi yang berjuntai
di lubang-lubang peti, terbang labuh. Sayap-sayap
kumbang berkilauan terbias warna-warni dedaunan maranta.
Demikian indahkah hidup dilihat dari mata Arai?
Beginikah seorang pemimpi melihat dunia?
"Brragghh!!!"
Lamunanku terhempas di atas meja baru pualam
putih yang panjang. Kudengar langkah para pengangkat
21
Sang Pemimpi
peti bergegas pergi. Kami menunggu dengan tegang detik
demi detik berikutnya. Jantungku berdetak satu per
satu mengikuti derap langkah Nyonya Pho mendekati
peti. Dan tibalah momen yang dramatis itu ketika Capo
mengangkat tutup peti dan langsung, saat itu juga, ia
menjerit sejadi-jadinya. Wajahnya yang memang sudah
seperti orang terkejut membiru seperti anak kecil melihat
hantu. Kami bertiga bangkit serentak tanpa ekspresi.
Nyonya Pho ternganga dan bibirnya bergetar-getar. Cerutunya
merosot dan jatuh tanpa daya di atas lantai stanplat
yang becek. Kami tak sedikit pun memedulikannya.
Ratusan pembeli ikan terperangah menyaksikan
kami berbaris dengan tenang di atas meja pualam yang
panjang: tak berbaju, berminyak-minyak, dan busuk belepotan
udang rebon basi. Kami melenggang tenang
dipimpin seorang laki-laki pemimpi yang hebat bukan
main. Ketika kami melewati Nyonya Pho, ia terjajar hampir
jatuh. Mukanya pias seakan ingin mati berdiri. Tangannya
menunjuk-nunjuk kami. Mulutnya komat-kamit
mengucapkan kata-kata seperti orang tercekik.
"Ikkhhhh ... ikkhhh ... ikkha ... ikan duyung!!!"
22
Arai adalah orang kebanyakan. Laki-laki seperti ini selalu
bertengkar dengan tukang parkir sepeda, meributkan
uang dua ratus perak. Orang seperti ini sering duduk
di bangku panjang kantor pegadaian menunggu barangnya
ditaksir. Barangnya itu dulang tembaga busuk
kehijau-hijauan peninggalan neneknya. Kalau polisi
menciduk gerombolan bromocorah pencuri kabel telepon,
maka orang berwajah serupa Arai dinaikkan ke bak
pick up, dibopong karena tulang keringnya dicuncung
sepatu jatah kopral. Dan jika menonton TVRI, kita biasa
melihat orang seperti Arai meloncat-loncat di belakang
presiden agar tampak oleh kamera.
Sang Pemimpi
Wajah Arai laksana patung muka yang dibuat mahasiswa-
baru seni kriya yang baru pertama kali menjamah
tanah liat, pencet sana, melendung sini. Lebih tepatnya,
perabotan di wajahnya seperti hasil suntikan silikon
dan mulai meleleh. Suaranya kering, serak, dan nyaring,
persis vokalis mengambil nada falseto—mungkin karena
kebanyakan menangis waktu kecil. Gerak-geriknya
canggung serupa belalang sembah. Tapi matanya istimewa.
Di situlah pusat gravitasi pesona Arai. Kedua bola
matanya itu, sang jendela hati, adalah layar yang mempertontonkan
jiwanya yang tak pernah kosong.
Sesungguhnya, aku dan Arai masih bertalian darah.
Neneknya adalah adik kandung kakekku dari pihak
ibu. Namun sungguh malang nasibnya, waktu ia kelas
satu SD, ibunya wafat saat melahirkan adiknya. Arai,
baru enam tahun ketika itu, dan ayahnya, gemetar di
samping jasad beku sang ibu yang memeluk erat bayi
merah bersimbah darah. Anak-beranak itu meninggal
bersamaan. Lalu Arai tinggal berdua dengan ayahnya.
Kepedihan belum mau menjauhi Arai. Menginjak kelas
tiga SD, ayahnya juga wafat. Arai menjadi yatim piatu,
sebatang kara. Ia kemudian dipungut keluarga kami.
Aku teringat, beberapa hari setelah ayahnya meninggal,
dengan menumpang truk kopra, aku dan ayahku
menjemput Arai. Sore itu ia sudah menunggu kami di
depan tangga gubuknya, berdiri sendirian di tengah be-
24
Simpai Keramat
lantara ladang tebu yang tak terurus. Anak kecil itu mengapit
di ketiaknya karung kecampang berisi beberapa potong
pakaian, sajadah, gayung tempurung kelapa, mainan
buatannya sendiri, dan bingkai plastik murahan berisi foto
hitam putih ayah dan ibunya ketika pengantin baru. Sebatang
potlot yang kumal ia selipkan di daun telinganya,
penggaris kayu yang sudah patah disisipkan di pinggangnya.
Tangan kirinya menggenggam beberapa lembar buku
tak bersampul. Celana dan bajunya dari kain belacu lusuh
dengan kancing tak lengkap. Itulah seluruh harta bendanya.
Sudah berjam-jam ia menunggu kami.
Tampak jelas wajah cemasnya menjadi lega ketika
melihat kami. Aku membantu membawa buku-bukunya
dan kami meninggalkan gubuk berdinding lelak beratap
daun itu dengan membiarkan pintu dan jendela-jendelanya
terbuka karena dipastikan tak 'kan ada siapa-siapa
untuk mengambil apa pun. Laksana terumbu karang
yang menjadi rumah ikan di dasar laut, gubuk itu akan
segera menjadi sarang luak, atapnya akan menjadi lumbung
telur burung kinantan, dan tiang-tiangnya akan
menjadi istana liang kumbang.
Kami menelusuri jalan setapak menerobos gulma
yang lebih tinggi dari kami. Kerasak tumpah ruah merubung
jalan itu. Arai menengok ke belakang untuk melihat
gubuknya terakhir kali. Ekspresinya datar. Lalu ia
berbalik cepat dan melangkah dengan tegap. Anak seke-
25
Sang Pemimpi
cil itu telah belajar menguatkan dirinya. Ayahku berlinangan
air mata. Dipeluknya pundak Arai erat-erat.
Di perjalanan aku tak banyak bicara karena hatiku
ngilu mengenangkan nasib malang yang menimpa sepupu
jauhku ini. Ayahku duduk di atas tumpukan kopra,
memalingkan wajahnya, tak sampai hati memandang
Arai. Aku dan Arai duduk berdampingan di pojok bak
truk yang terbanting-banting di atas jalan sepi berbatubatu.
Kami hanya diam. Arai adalah sebatang pohon kara
di tengah padang karena hanya tinggal ia sendiri dari
satu garis keturunan keluarganya. Ayah ibunya merupakan
anak-anak tunggal dan kakek neneknya dari kedua
pihak orangtuanya juga telah tiada. Orang Melayu
memberi julukan Simpai Keramat untuk orang terakhir
yang tersisa dari suatu klan.
Aku mengamati Arai. Kelihatan jelas kesusahan
telah menderanya sepanjang hidup. Ia seusia denganku
tapi tampak lebih dewasa. Sinar matanya jernih, polos
sekali. Lalu tak dapat kutahankan air mataku mengalir.
Aku tak dapat mengerti bagaimana anak semuda itu menanggungkan
cobaan demikian berat sebagai Simpai Keramat.
Arai mendekatiku lalu menghapus air mataku dengan
lengan bajunya yang kumal. Tindakan itu membuat
air mataku mengalir semakin deras. Sempat kulirik
ayahku yang mencuri-curi pandang kepada kami, wajah
beliau sembap dan matanya semerah buah saga. Meli-
26
Simpai Keramat
hatku pilu, kupikir Arai akan terharu tapi ia malah tersenyum
dan pelan-pelan ia merogohkan tangannya ke dalam
kacung kecampangnya. Air mukanya memberi kesan
ia memiliki sebuah benda ajaib nan rahasia.
"Ikal, lihatlah ini!!" bujuknya.
Dari dalam karung, ia mengeluarkan sebuah benda
mainan yang aneh. Aku melirik benda itu dan aku
semakin pedih membayangkan ia membuat mainan itu
sendirian, memainkannya juga sendirian di tengah-tengah
ladang tebu. Aku tersedu sedan.
Tapi bagaimanapun perih aku tertarik. Mainan itu
semacam gasing yang dibuat dari potongan-potongan lidi
aren dan di ujung lidi-lidi itu ditancapkan beberapa butir
buah kenari tua yang telah dilubangi. Sepintas bentuknya
sepertii helikopter. Jalinan lidi pada mainan itu agaknya
mengandung konstruksi mekanis. Aku tergoda melihat
Arai memutar-mutar benda itu setengah lingkaran
untuk mengambil ancang-ancang. Setelah beberapa kali
putaran, sebatang lidi besar yang menjadi tuas konstruksi
itu melengkung lalu saat putaran terakhir dilepaskan, ajaib!
Lengkungan tadi melawan arah menimbulkan tendangan
tenaga balik yang memelintir gasing aneh ini dengan sempurna
360 derajat, berulang-ulang. Lebih seru lagi putaran
balik ini menyebabkan butir-butir kenari tadi saling beradu
menimbulkan harmoni suara gemeretak yang menakjubkan.
Aku tergelak. Mata Arai bersinar-sinar.
27
Sang Pemimpi
Aku tersenyum tapi tangisku tak reda karena seperti
mekanika gerak balik helikopter purba ini, Arai
telah memutarbalikkan logika sentimental ini. la justru
berusaha menghiburku pada saat aku seharusnya menghiburnya.
Dadaku sesak.
"Cobalah, Ikal...."
Aku merebut gasing aneh itu, mengamatinya dengan
teliti bukan hanya sebagai mainan yang menarik
hati tapi sebagai sebuah kisah tentang anak kecil yang
menciptakan mainan untuk melupakan kepedihan hidupnya.
Aku memutar gasing itu sekali, namun aku terperanjat
sebab tiba-tiba ia berputar sendiri dengan keras
sehingga konstruksinya bingkas, lidi-lidinya patah, dan
buah-buah kenari itu berhamburan ke mukaku. Aku telah
memutarnya terlalu kencang. Arai terkekeh melihatku.
Ia memegangi perutnya menahan tawa. Belum
hilang rasa terkejutku, Arai kembali merogohkan tangannya
ke dalam karung kecampang.
"Masih ada lagi!!"
Ia tersenyum penuh arti karena tahu telah berhasil
menghiburku. Kali ini ia mengeluarkan sebuah cupu dari
kayu medang yang berlubang-lubang. Biasa dipakai
orang Melayu untuk menyimpan tembakau. Tak kusangka
cupu itu telah dibelah dan sambungannya tak
kasat. Arai membukanya pelan-pelan.
"Aiih ... kumbang sagu!!"
28
Simpai Keramat
Aku memekik tak terkendali. Kumbang sagu, serangga
mainan langka yang susah ditangkap. Jika dipelihara
dan diberi makan remah kelapa, kumbang bersayap
mengilat seperti tameng patriot Spartan itu dapat
menjadi jinak. Tak berkedip aku melihat Arai membiarkan
kumbang itu merayapi lengannya. Makhluk kecil
yang memesona itu meloncat-loncat kecil ingin terbang.
Arai membelai serangga kecil itu, menggenggamnya
dengan lembut lalu melemparkannya ke udara.
Ditiup angin kencang di atas truk kumbang itu meregangkan
sayap-sayapnya, mengapung sebentar, berputar-
putar seolah merayakan kemerdekaannya lalu melesat
menembus rimbun dedaunan kemang di tepi jalan. Lalu
Arai melangkah menuju depan bak truk. la berdiri tegak
di sana serupa orang berdiri di hidung haluan kapal. Pelan-
pelan ia melapangkan kedua lengannya dan membiarkan
angin menerpa wajahnya. Ia tersenyum penuh semangat.
Agaknya ia juga bertekad memerdekakan dirinya
dari duka mengharu biru yang membelenggunya seumur
hidup. Ia telah berdamai dengan kepedihan dan
siap menantang nasibnya. Jahitan kancing bajunya yang
rapuh satu per satu terlepas hingga bajunya melambailambai
seperti sayap kumbang sagu tadi. Ia menggoyanggoyang
tubuhnya bak rajawali di angkasa luas.
"Dunia...!! Sambutlah aku...!! Ini aku, Arai, datang
untukmu ...!!" Pasti itu maksudnya.
29
Sang Pemimpi
Ayahku tersenyum mengepalkan tinjunya kuatkuat
dan aku ingin tertawa sekeras-kerasnya, tapi aku
juga ingin menangis sekeras-kerasnya.
30
Aku dan Arai ditakdirkan seperti sebatang jarum di atas
meja dan magnet di bawahnya. Sejak kecil kami melekat
ke sana kemari. Aku semakin dekat dengannya karena
jarak antara aku dan abang pangkuanku, abangku langsung,
sangat jauh. Arai adalah saudara sekaligus sahabat
terbaik buatku. Dan meskipun kami seusia, ia lebih abang
dari abang mana pun. Ia selalu melindungiku. Sikap itu
tecermin dari hal-hal paling kecil. Jika kami bermain melawan
bajak laut di Selat Malaka dan aku sebagai Hang
Tuah, maka ia adalah Hang Lekir. Dalam sandiwara memerangi
kaum Quraishi pada acara di balai desa, aku
berperan selaku Khalifah Abu Bakar, Arai berkeras ingin
menjadi panglima besar Hamzah. Jika aku Batman, ia
Sang Pemimpi
ingin menjadi Robin atau paling tidak menjadi kelelawar.
Jika di kampung anak-anak bermain memperebutkan
kapuk yang beterbangan dari pohonnya seperti hujan
salju, Arai akan menjulangku di pundaknya, sepanjang
sore berputar-putar di lapangan tak kenal lelah, tak
pernah mau kugantikan. la mengejar layangan untukku,
memetik buah delima di puncak pohonnya hanya untukku,
mengajariku berenang, menyelam, dan menjalin pukat.
Sering bangun tidur aku menemukan kuaci, permen
gula merah, bahkan mainan kecil dari tanah liat sudah
ada di saku bajuku. Arai diam-diam membuatnya untukku.
Dan seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin
di kampung kami yang rata-rata beranjak remaja mulai
bekerja mencari uang, Arai-lah yang mengajariku mencari
akar banar untuk dijual kepada penjual ikan. Akar
ini digunakan penjual ikan untuk menusuk insang ikan
agar mudah ditenteng pembeli. Dia juga yang mengajakku
mengambil akar purun (perdu yang tumbuh di
rawa-rawa) yang kami jual pada pedagang kelontong
untuk mengikat bungkus terasi. Waktu itu kami ingin
sekali menjadi caddy di padang golf PN Timah tapi belum
cukup umur. Kami masih SMP. Untuk jadi caddy,
paling tidak harus SMA.
Sejak melihat aksi Arai di bak truk kopra tempo
hari, aku mengerti bahwa ia adalah pribadi yang istime-
32
The Lone Ranger
wa. Meskipun perasaannya telah luluh lantak pada usia
sangat muda tapi ia selalu positif dan berjiwa seluas
langit. Mengingat masa lalunya yang pilu, aku kagum
pada kepribadian dan daya hidupnya. Kesedihan hanya
tampak padanya ketika ia mengaji Al-Qur'an. Di hadapan
kitab suci itu ia seperti orang mengadu, seperti orang
yang takluk, seperti orang yang kelelahan berjuang melawan
rasa kehilangan seluruh orang yang dicintainya.
Setiap habis magrib Arai melantunkan ayat-ayat
suci Al-Qur'an di bawah temaram lampu minyak dan
saat itu seisi rumah kami terdiam. Suaranya sekering
ranggas yang menusuk-nusuk malam. Ratap lirihnya
mengirisku, menyeretku ke sebuah gubuk di tengah ladang
tebu. Setiap lekukan tajwid yang dilantunkan hati
muda itu adalah sayat kerinduan yang tak tertanggungkan
pada ayah-ibunya.
Jika Arai mengaji, pikiranku lekat pada anak kecil
yang mengapit karung kecampang, berbaju seperti perca
dengan kancing tak lengkap, berdiri sendirian di muka
tangga gubuknya, cemas menunggu harapan menjemputnya.
Jika Arai mengaji, aku bergegas menuruni tangga
rumah panggung kami, kemudian berlari sekuat tenaga
menerabas ilalang menuju lapangan di tepi kampung. Di
tengah lapangan itu aku berteriak sejadi-jadinya.
33
Sang Pemimpi
Karena berkepribadian terbuka, memiliki mentalitas selalu
ingin tahu dan terus bertanya, Arai berkembang
menjadi anak yang pintar. la selalu ingin mencoba sesuatu
yang baru.
"Oh, amboi, Ikal... tengoklah ini! Model rambut
paling mutakhir! Aiiihhh.... Toni Koeswoyo, rambut belah
tengahnya itu! Elok bukan buatan! Lihatlah, Kal, semua
pemain Koes Plus rambutnya belah tengah!"
Demikian hasutan Arai sambil mengagumi foto
Koes Plus di sampul buku PKK-nya. la telah menerapkan
belah tengah seminggu sebelumnya dan tak sedikit
pun kulihat nilai tambah pada wajahnya. Tapi karena
Arai memang diberkahi dengan bakat menghasut, maka
aku termakan juga. Ketika becermin, aku sempat tak kenal
pada diriku sendiri. Aku gugup bukan main saat
pertama kali keluar kamar dengan gaya rambut Toni
Koeswoyo itu. Aku berdiri mematung di ambang pintu
karena abang-abangku menertawakan aku sampai berguling-
guling.
"Ha ha ha! Lihatlah orang-orangan ladang!!" ejek
mereka bersahut-sahutan seperti segerombolan lutung
berebut ketela rambat.
Rasanya aku ingin kabur masuk kembali ke kamar.
Aku tak menyalahkan mereka karena aku memang mirip
orang-orangan ladang. Rambutku yang ikal, panjang,
dan tipis ketika dibelah tengah lepek di atasnya namun
34
The Lone Ranger
ujung-ujungnya jatuh melengkung lentik di atas pundakku.
Persis ekor angsa. Aku menyesal telah mengubah
sisiranku dan di ambang pintu kamar itu aku demam
panggung sebelum memperlihatkan penampilan baruku
pada dunia. Tapi pada saat aku akan melangkah mundur,
Arai serta-merta menghampiriku.
"Jangan takut, Tonto ...," ia menguatkan aku dengan
gaya Lone Ranger.
Arai menggenggam tanganku erat-erat dan menuntunku
dengan gagah berani melewati ruang tengah
rumah. Dalam dukungan Arai, aku tak sedikit pun gentar
menghadapi badai cemoohan. Papan-papan panjang
lantai rumah berderak-derak ketika kami berdua melangkah
penuh gaya.
Demikianlah, arti Arai bagiku. Maka sejak Arai
tinggal di rumah kami, tak kepalang senang hatiku. Aku
semakin gembira karena kami diperbolehkan menempati
kamar hanya untuk kami berdua. Walaupun kamar
kami hanyalah gudang peregasan, jauh lebih baik daripada
tidur di tengah rumah, bertumpuk-tumpuk seperti
pindang bersama abang-abangku yang kuli, bau keringat,
dan mendengkur.
Peregasan adalah peti papan besar tempat menyimpan
padi. Orangtuaku dan sebagian besar orang Melayu
seangkatan mereka demikian trauma pada pendudukan
Jepang maka di setiap rumah pasti ada peregasan.
35
Sang Pemimpi
Padi di dalam peregasan sebenarnya sudah tak bisa
lagi dimakan karena sudah disimpan puluhan tahun.
Saat ini peregasan tak lebih dari surga dunia bagi bermacam-
macam kutu dan keluarga tikus berbulu kelabu
yang turun-temurun beranak pinak di situ. Namun, jangan
sekali-sekali membicarakan soal peregasan. Ini perkara
sensitif. Jika sedikit saja kami menyinggung soal
peregasan, misalnya kenapa padi lapuk itu tak dibakar
saja, maka ibuku, sambil bersungut-sungut, akan melantunkan
sabda rutinnya yang membuat kami bungkam.
Preambul: "Kalian tak tahu apa-apa soal kesulitan
hidup kecuali kalian hidup di zaman Jepang."
Latar belakang masalah: "Pernahkah kalian melihat
kaum pria bercelana karung goni sehingga kulitnya
keras seperti kulit beduk? Aiii...."
Kesimpulan: "Padi itu akan tetap di situ. Melihat
keadaan negara sekarang, bisa-bisa Jepang datang lagi!!"
Rekomendasi: "Maka Bujang-bujangku, daripada
kaupusingkan soal padi itu, lebih berguna hidupmu jika
kaupetikkan aku daun sirih!!"
Para orangtua Melayu tahu persis bahwa padi di
dalam peregasan sudah tak bisa dimakan. Namun, bagi
mereka peregasan adalah metafora, budaya, dan perlambang
yang mewakili periode gelap selama tiga setengah
tahun Jepang menindas mereka. Ajaibnya sang waktu,
masa lalu yang menyakitkan lambat laun bisa menjelma
menjadi nostalgia romantik yang tak ingin dilupakan.
36
Sore yang indah. Perkebunan kepala sawit di kaki gunung
sebelah timur kampung kami seperti garis panjang yang
membelah matahari. Bagian bawahnya menyingsingkan
fajar di negeri-negeri orang berkulit pucat dan sisa setengah
di atasnya menyemburkan lazuardi merah menyalanyala.
Dan pada momen yang spektakuler itu aku tengah
membicarakan persoalan yang sangat serius dengan Arai
melalui telepon. Kami membahas kerusakan lingkungan
karena ulah PN Timah dan jumlah ganti rugi yang akan
kami tuntut karena tanah ulayat kami rusak berantakan.
"Tiga miliar untuk air minum yang tercemar phyrite,
empat miliar untuk risiko kontaminasi radio aktif,
tujuh miliar kompensasi beban psikologis karena keseneBook
oleh Nurul Huda Kariem MR.
nurulkariem@yahoo.com
MR. Collection's
a
Sang Pemimpi
jangan sosial, dan dua miliar untuk hancurnya habitat
pelanduk," usul Arai berapi-api.
Aku duduk santai di atas talang mendengarkan
usulannya melalui pesawat telepon kaleng susu Bendera
yang dihubungkan dengan kawat nyamuk. Arai meneleponku
melalui kaleng Botan, posisinya di kandang ayam.
Saat itulah seorang wanita gemuk berjilbab yang
matanya bengkak memasuki pekarangan. Wanita malang
setengah baya itu Mak Cik Maryamah, datang bersama
putrinya dan seperti ibunya, mata mereka bengkak,
semuanya habis menangis.
Aku dan Arai berlari menuju Mak Cik tapi ibuku
lebih dulu menghampiri mereka.
"Kakak ...," Mak Cik memelas.
"Kalau masih ada beras, tolonglah pinjami kami
38
...."
Air mata Mak Cik meleleh. Kesusahan seakan tercetak
di keningnya. Lahir untuk susah, demikian stempelnya.
Putrinya yang terkecil tertidur pulas dalam dekapannya.
Yang tertua, Nurmi yang kurus tinggi kurang
gizi itu, baru kelas dua SMP, sama denganku dan Arai,
tampak tertekan batinnya. la memeluk erat sebuah koper
hitam lusuh berisi biola. Dia seorang pemain biola
berbakat. Ingin menjadi musisi, itulah impian terbesarnya.
Bakat dan biola itu diwarisinya dari kakeknya, ketua
gambus kampung kami.
Biola Nurmi
Sudah tiga kali Minggu ini Mak Cik datang meminjam
beras. Keluarga kami memang miskin tapi Mak
Cik lebih tak beruntung. la tak berdaya karena tak lagi
dipedulikan suaminya, antara lain karena ia hanya bisa
melahirkan anak-anak perempuan itu.
Ibuku memberi isyarat dan Arai melesat ke gudang
peregasan. Ia memasukkan beberapa takar beras
ke dalam karung, kembali ke pekarangan, memberikan
karung beras itu kepada ibuku yang kemudian melungsurkannya
kepada Mak Cik.
"Ambillah...."
Mak Cik menerimanya dengan canggung dan berat
hati. Aku tak sampai hati melihatnya. Ia berkata terbata-
bata, "Tak 'kan mampu kami menggantinya, Kak...."
Lalu Mak Cik menatap Nurmi. Wajahnya menanggungkan
perasaan tak sampai hati namun beliau benarbenar
tak punya pilihan lain.
"Hanya biola ini milik kami yang masih berharga,"
ucapnya pedih.
Nurmi memeluk biolanya kuat-kuat. Air matanya
mengalir. Ia tak rela melepaskan biola itu.
"Nurmi...," panggil ibunya.
Nurmi berupaya keras menguat-nguatkan dirinya.
Ia mendekati ibuku. Langkahnya terseret-seret untuk
menyerahkan koper biolanya. Air matanya berurai-urai.
Ibuku tersenyum memandangi Nurmi.
39
Sang Pemimpi
"Jangan sekali-kali kaupisahkan Nurmi dari biola
ini, Maryamah. Kalau berasmu habis, datang lagi ke sini."
Nurmi cepat-cepat menarik tangannya dan kembali
memeluk biolanya kuat-kuat. la tersedu sedan.
Kami mengiringi Mak Cik keluar pekarangan dan
memandangi anak-beranak itu berjalan menjauh. Nurmi
melangkah paling cepat mendahului ibu dan adik-adiknya
seakan ia ingin segera pulang menyelamatkan biolanya.
Mata Arai berkaca-kaca melihat Mak Cik bergandengan
tangan dengan anak-anaknya sambil menenteng
setengah karung beras. Lalu aku heran melihat ekspresi
Arai. Sulit kuartikan makna air mukanya: dingin, datar,
dan gundah. Kulihat ketidakpuasan, ada juga kilatan
kemarahan. Lebih dari itu, kulihat sebuah rencana yang
aneh. Instingku mengabari bahwa sesuatu yang dramatis
pasti sedang berkecamuk dalam kepala manusia
nyentrik ini.
Benar saja, tiba-tiba Arai membanting telepon kaleng
botan dan menyeretku ke gudang peregasan.
Aku terbengong-bengong melihat tingkah Arai.
Ibuku sibuk menggulung kabel telepon yang kami campakkan.
Aku semakin tak mengerti waktu Arai bergegas
membuka tutup peregasan, mengambil celengan ayam
jagonya, dan tanpa ragu menghempaskannya. Uang lo-
40
Biola Nurmi
gam berserakan di lantai. Napasnya memburu dan matanya
nanar menatapku saat ia mengumpulkan uang
koin. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun dan pada
detik itu aku langsung terperangkap dalam undangan
ganjil dari sorot matanya. Seperti tersihir aku tergoda
pada berbagai kemungkinan yang ditawarkan kelakuan
sintingnya. Tanpa berpikir panjang aku menjangkau celenganku
di dasar peregasan dan melemparkannya ke
dinding. Aku terpana melihat koin-koin tabunganku
berhamburan, baru kali ini aku memecahkan ayam jago
dari tanah Hat itu.
Arai terkekeh.
Aku tak tahu apa yang telah merasukiku. Aku juga
tak secuil pun tahu apa rencana Arai. Yang kutahu adalah
Allah telah menghadiahkan karisma yang begitu kuat
pada sang Simpai Keramat ini—mungkin sebagai kompensasi
kepedihan masa kecilnya. Hanya dengan menatap,
ia mampu menguasaiku. Atau mungkin juga aku
bertindak tolol karena persekongkolan kami sudah mendarah
daging.
"Kumpulkan semua, Ikal!!" perintahnya bersemangat.
"Masukkan ke dalam karung gandum."
Koin-koin itu hampir seperempat karung gandum.
'Ayo ikut aku, cepat!! Pakai dua sepeda!!"
Kami berlari menuju sepeda sambil menenteng
karung gandum yang berat gemerincing. Kelakuan kami
41
Sang Pemimpi
persis perampok telepon koin. Arai mengayuh sepeda
seperti orang menyelamatkan diri dari letusan gunung
berapi. Di luar pekarangan ia menikurtg tajam dalam
kecepatan tinggi. Aku pontang-panting mengikutinya
dengan hati penasaran. Yang terpikir olehku kami akan
menghibahkan tabungan kami untuk Mak Cik. Mengingat
kesulitan Mak Cik, aku tak keberatan.
Tapi ketika sepeda melewati perempatan, Arai berbelok
ke kiri. Aku tersengal-sengal memanggilnya.
"Rai!! Mau ke mana??!!"
Jika ingin ke rumah Mak Cik, seharusnya ia belok
kanan.
"Aku tahu, Kal. Ikut saja!!"
Maka layar pun digulung dan drama dimulai.
Arai ngebut, sepedanya terpantul-pantul di atas jalan
pasir meluapkan debu berwarna kuning. Aku zigzag
di belakangnya untuk menghindari debu. Aku terheran-
heran pada kelakuan Arai tapi menikmati ketegangan
pengalaman hebat ini. Dua orang bersepeda beriringan
kejar-mengejar dengan kecepatan tinggi sambil
membawa karung uang. Bukankah kami seperti buronan
di film-film?
Arai jelas sedang menuju ke pasar. Tak dapat kuduga
apa maksudnya. Begitulah Arai, isi kepalanya tak
'kan pernah dapat ditebak. Di depan toko A Siong ia
berhenti. Dia turun dari sepeda dan menghampiriku
42
Biola Nurmi
yang kehabisan napas. la mengambil karung uang yang
sedang kusandang. Sambil mengumbar senyum tengiknya
dia mengedipkan sebelah mata sembari mengeluarkan
suara "khekkh!!" persis tekukur dilindas truk.
Langkahnya pasti memasuki toko A Siong. Aku was was
mengantisipasi tindakannya. Aku tak rela uang jerih
payah berjualan tali purun itu dihamburkannya untuk
hal yang konyol. Perlu diketahui, untuk menebas purun
harus berendam dalam rawa setinggi dada dengan risiko
ditelan buaya mentah-mentah. Tapi seperti biasanya
Arai selalu meyakinkan. Lihatlah ekspresi dan gayanya
berjalan. Aku terhipnotis oleh kekuatan kepercayaan dirinya.
Aku seperti kerbau dicucuk hidung, digiring ke
pejagalan pun manut saja. Bahkan hanya untuk bertanya
mulutku telanjur kelu.
Kami memasuki toko yang sesak. Barang-barang
kelontong berjejal-jejal di rak-rak yang tinggi. Arai berhenti
sebentar di tengah toko persis di bawah sebuah
fan besar berdiameter hampir dua meter dan berputar
sangat kencang: wuttth ... wuttth ... wutttthh. Istri A Siong
besar di Hongkong. Hanya fan untuk pabrik itu yang
membuatnya betah tinggal di Belitong yang panas. Arai
membuka kancing atas bajunya, menengadahkan wajahnya,
dan ketika angin fan membasuh wajahnya yang bersimbah
peluh ia terpejam syahdu, sebuah gaya yang sangat
mengesankan.
43
Sang Pemimpi
Lalu ia menghampiri istri A Siong. Nyonya ini sedang
mengepang rambut putrinya, Mei Mei. Siapa pun
yang melihat gadis kecil ini akan segera teringat pada
tofu. Mereka berdua gendut-gendut tapi cantik.
"Prranggggg!!!"
Arai menumpahkan isi karung gandum tadi di
atas meja kaca. Nyonya Tionghoa yang punya nama sangat
bagus itu: Deborah Wong melompat terkejut melihat
uang logam membukit seperti tumpeng.
"Ayya ... ya ... ya ... Lui...!!"
Ibu mertua Nyonya Deborah yang berumur hampir
seratus tahun dan sedarig duduk juga terkejut. Nenek
ini tak pernah tersenyum. Bajunya, kulitnya, rambutnya,
alisnya, gusinya yang sudah tak ditenggeri sebiji pun
gigi, dan kucingnya, semuanya berwarna kelabu. Murung.
Itulah kesan keseluruhan dirinya. Agaknya, ia melalui
hari demi hari dipenuhi perasaan muak. Wajahnya
selalu kesal mengapa malaikat maut tak kunjung menjemputnya.
Ia tak tertarik lagi dengan kehidupan. Mendengar
gemerincing koin yang ribut, ia merasa terganggu,
mukanya menyeringai marah.
"Nyah ...," seru Arai pada Nyonya Deborah. Santun
dan berwibawa, seolah ia akan memborong seluruh
isi toko dengan koin-koin itu.
"Terigu 10 kilo, gandum 10 kilo, gula ...."
Aku terkejut tak kepalang.
44
Biola Nurmi
"Rai! Apa-apaan ini?!"
"Untuk apa segala terigu ...."
Tangkas, Arai menekan jarinya di atas mulutku.
"Sstttt!!Diam,Kal."
"Nyah, jangan lupa minyak ...."
Kutepis tangannya dengan marah, Arai tersentak.
"Diamlah, Ikal. Lihat saja ...."
Langsung kupotong, "Ke mana pikiranmu, Rail!
Sudah setahun lebih kita menabung!!"
"Tong! Tong! Tong!! Tong! Tong!!"
Sang ibu mertua Nyonya Deborah menamparnamparkan
piring kaleng tempat makanan kucing, menyuruh
kami diam.
"Sabar, Kal. Nan ...."
"Tak ada sabar!!"
"Ini penting, Kal. Bahan-bahan ini akan ...."
"Tak ada penting!! Lupakah kau untuk apa kita
susah payah menabung??!!"
Arai marah karena alasannya kupotong terus. Dia
geram karena aku tak mau mendengar penjelasannya.
"Ya Tuhan, jangan lagi aku dipertemukan dengan
orang ini!!!"
Aku melompat menuju tumpukan koin, membuka
karung gandum dan meraup permukaan meja untuk melungsurkan
koin-koin itu kembali ke dalam karung. Arai
tak tinggal diam. Disambarnya tanganku dan dikekang-
45
Sang Pemimpi
nya tubuhku dari belakang seperti pegulat tradisional
Iran. Terjadi tarik-menarik yang seru memperebutkan gunungan
uang koin. Meja kaca bergoyang-goyang hebat.
Nyonya Deborah terperanjat melihat pergumulan gaya
koboi di tokonya.
"Tagem!!! Taggeeeeeem!!"
Nyonya Deborah menjerit ketakutan memanggilmanggil
Tagem, kulinya. Kuli Sawang itu tengah bersandar
kelelahan mengipasi dadanya dengan sobekan kardus
di pokok pohon seri di muka toko. Lalu-lalang kendaraan
menelan teriakan Nyonya Deborah. Anehnya putri
kecil Mei Mei justru senang bukan main melihat kami
beradu otot. la cekikikan, bertepuk tangan, dan ia jelas
memihakku. Tanpa peduli duduk perkaranya, anak kecil
pasti akan memihak orang yang berpenampilan lebih
apik. Bagi anak TK itu, aku yang berkulit lebih terang
dan keriting adalah jagoannya, pangeran penumpas kejahatan.
Bentuk rahang Arai yang aneh pasti telah membuatnya
menduga kalau Arai penjahat.
"Ayo, Abang Keliting, sepak!! Sepak!! Kik ... kik ...
kik ... hi... hi... sepak!! Tendang pelutnya!!"
Adu tenaga semakin dahsyat karena Arai berhasil
mengekang kedua tanganku. Ia unggul karena badannya
lebih besar. Ia memitingku dari belakang dan memepetkan
tubuhku ke lemari dagangan tembakau. Aku
menguik ketika terjajar menghantam lemari itu.
46
Biola Nurmi
Mei Mei semakin girang. Gadis cilik yang tak kenal
takut itu naik ke atas meja. Ibunya hilir mudik ketakutan.
"Ayo, tinju, Bang. Talik lambutnya ...."
Aku dan Arai berusaha sekuat tenaga saling mengalahkan.
Mei Mei yang gendut berlari-lari di atas meja
seperti wasit tinju. Mulutnya berkicau-kicau tak keruan.
" Saudala-saudala, datanglah belamai-lamai!! Inilah
peltandingan antala pendekal keliting melawan ...."
Mei Mei terdiam menatap Arai. Kami juga terdiam,
serentak menoleh padanya. Dengan ekspresi lugunya,
putri kecil itu mengamati wajah Arai lalu ia berteriakngeri,
"Dlakulaaaaaaa ...!!!"
Arai tersinggung berat dan menumpahkan kekesalannya
padaku. Ia menjepit leherku dengan tekukan
sikunya. Tapi seperti kucing yang dimasukkan ke dalam
karung, aku memberontak sejadi-jadinya. Ibu mertua
Nyonya Deborah memaki-maki namun anehnya kemudian
ia tertawa. Pek!! Pek!! Pek!! Pek!! Pek!! Ia bertepuk
tangan dengan pinggan kaleng tadi seperti orang main
tamborin. Ia menunjuk-nunjuk aku sambil mengepalkan
tinjunya, kakinya menyepak-nyepak. Beliau jelas memihak
Arai.
Karena mendapat dukungan, Arai semakin beringas.
Ia mendorongku ke lemari tembakau. Sebaliknya,
aku semakin liar melawannya. Rak tembakau yang terbuat
dari batangan besi setinggi tiga meter dengan berat
47
Sang Pemimpi
ratusan kilo mulai bergoyang. Jika rak ini tumbang, seisi
toko bisa celaka.
"Tageeeeeeeeemmm!! Puik Tageeeeeemmmmm!!!"
Nyonya Deborah berteriak histeris. Karena panik, Nyonya
Deborah terpaksa memakai kata puik, sebuah makian
dalam bahasa Sawang.
Tagem masih tenang-tenang saja. la malah melambai-
lambai, menggoda iringan wanita penjaga toko. Sebaliknya,
melihat pertarungan semakin dahsyat, Mei
Mei girang tak kepalang. la menjerit-jerit seperti burung
prigantil yang dicabuti bulunya.
"Ayo, Abang Keliting, sepak!! Tinju!!"
Semangatku terpompa. Aku merasa memiliki tenaga
ekstra sebab aku yakin sedang membela kebenaran.
Aku meronta sejadi-jadinya dari kuncian Arai, menggelinjang
seperti belut sehingga lemari raksasa itu limbung
dan tiba-tiba ....
Shrrrookkkk... braggghhh... brruukkkk!!! Brruukkkk!!!
Brruukkkk!!!
Tiga karung kertas yang berisi kapuk berjatuhan
dari rak lemari tembakau. Karung-karung itu pecah berantakan
dan gumpalan-gumpalan kapuk yang berbentuk
seperti awan terhambur memenuhi lantai. Lalu tampak
olehku pemandangan yang menakjubkan karena fan
besar di tengah ruangan mengisap kapuk di atas lantai
dan ribuan awan-awan putih kecil berdesingan meling-
48
Biola Nurmi
kar naik ke atas, indah dan harmonis membentuk spiral
seperti angin tornado.
Mei Mei terpana melihat pemandangan ajaib itu.
Mulut mungilnya yang dari tadi berkicau kini terkunci
lalu pelan-pelan menganga seperti ikan mas koki. la tertegun
saat pusaran kapas itu maju mundur mendekatinya.
Mata bulat buah hamlam-nya bersinar-sinar seakan
ia melihat sesosok malaikat yang besar, tampan, dan bersayap
melayang-layang ingin memeluknya. Mei Mei pucat
pasi karena terpukau dalam ketakutan yang indah.
Pinggan kaleng yang tengah digenggam ibu mertua
Nyonya A Siong terjatuh tanpa disadarinya lalu
berguling-guling ke tengah ruangan toko. Nyonya Deborah
sendiri berhenti berteriak. Wutthh ... wutthh ...
wutthhhh suara fan besar menggulung setiap gumpalan
kapuk seperti jutaan kunang-kunang yang serentak beranjak.
Arai melepaskan kunciannya dari tubuhku. Ia menengadah.
"Subhanallah ...."
"Subhanallah Ikal, lihatlah itu ...."
Kepalaku berputar-putar mengikuti kisaran angin
tornado awan-awan kapuk yang terkumpul ke atas dan
terapung-apung memenuhi plafon sehingga toko kelontong
itu seperti berada di atas awan, seperti hanyut
di langit. Semua orang yang ada di dalam toko bungkam
49
Sang Pemimpi
karena terperangah. Kami memandangi langit-langit
toko yang dipenuhi kapuk seperti awan yang rendah.
Pemandangan semakin sensasional ketika Nyonya Deborah
mematikan fan dan saat itu pula awan-awan kecil
itu berjatuhan, melayang-layang dengan lembut tanpa
bobot.
Mei Mei berteriak-teriak girang sambil melompatlompat,
"Hujan saljuuuuuuu...."
Mei Mei menangkap awan-awan kecil yang berjatuhan.
Ibunya menghampiri anaknya, memeluknya.
Mereka menari berputar-putar di bawah hujan salju.
Aku dan Arai bersandar kelelahan. Di bawah hujan
salju yang memesona pertikaian kami telah berakhir
dengan damai.
"Arai, kita memerlukan tabungan itu."
"Aku tak punya banyak waktu, Kal...."
"Nanti kujelaskan. Ikuti saja rencanaku, percayalah...."
Aku menatap mata Arai dalam-dalam. Dia memang
aneh tapi aku tahu tak ada bibit culas dalam dirinya.
Di luar kami lihat Tagem berjalan gontai memasuki
toko. Di ambang pintu ia berteriak, "Puik Tagem!!"
la terkejut melihat toko telah kacau-balau dan
menjadi putih, sementara juragannya bersukaria bermain-
main di bawah hujan kapuk dan mertua Nyonya Deborah
bertepuk tangan dengan piring kaleng.
50
Biola Nurmi
Kami kembali bersepeda dengan tergesa-gesa,
meliuk-liuk membawa karung gandum dan terigu. Di
perempatan Arai belok kiri. Aku masih tak mengerti
maksud Arai waktu ia memasuki pekarangan rumah
Mak Cik Maryamah. Kami masuk ke dalam rumah yang
senyap. Dari dalam kamar, sayup terdengar Nurmi sedang
menggesek biola. Arai menyerahkan karung-karung
tadi pada Mak Cik. Beliau terkaget-kaget. Lalu aku
tertegun mendengar rencana Arai: dengan bahan-bahan
itu dimintanya Mak Cik membuat kue dan kami yang
akan menjualnya.
"Mulai sekarang, Mak Cik akan punya penghasilan!"
sera Arai bersemangat.
Mata Mak Cik barkaca-kaca. Seribu terima kasih
seolah tak 'kan cukup baginya.
Tubuhku yang dari tadi kaku karena tegang mengantisipasi
rencana Arai kini pelan-pelan merosot sehingga
aku terduduk di balik daun pintu. Aku menunduk
dan memeluk lututku yang tertekuk. Aku merasa sangat
malu pada diriku sendiri. Bibirku bergetar menahan rasa
haru pada putihnya hati Arai. Air mataku mengalir pelan.
Sungguh tak sedikit pun kuduga Arai merencanakan
sesuatu yang sangat mulia untuk Mak Cik. Sebuah
rencana yang akan kudukung habis-habisan. Sejak itu,
aku mengenal bagian paling menarik dari Arai, yaitu ia
mampu melihat keindahan di balik sesuatu, keindahan
51
Sang Pemimpi
yang hanya biasa orang temui di dalam mimpi-mimpi.
Maka Arai adalah seorang pemimpi yang sesungguhnya,
seorang pemimpi sejati.
Dan sejak itu, kami naik pangkat dari penebas akar
banar dan pencabut rumpun purun menjadi penjual kue
basah. Karena sasaran pasar kami adalah orang-orang
bersarung, maka kami berjualan dari perahu ke perahu.
Jika ada pertandingan sepak bola, kami berjualan di
pinggir lapangan bola. Penghasilan sebagai penjual kue
rupanya jauh lebih baik dari penjual akar banar. Yang
paling menggembirakan, Mak Cik tak perlu lagi meminjam
beras ke mana-mana. Bertahun-tahun berikutnya
kami berganti dari satu profesi ke profesi lain untuk
membantu nafkah orangtua.
Ketika keluar dari kamarnya, Nurmi terkejut melihat
karung-karung gandum dan tepung terigu. Dan ia
terhenyak mendengar rencana Arai. Wajahnya sembap,
namun Arai serta-merta menghiburnya.
"Adinda, sudikah membawakan sebuah lagu untuk
Abang?"
Nurmi tersenyum.
"'Juwita Malam'. Abang ingin lagu 'Juwita Malam'."
Kami mengambil tempat duduk di dapur yang kumal
itu, siap menyimak Nurmi. Dan sore yang sangat
indah itu semakin memesona karena gesekan syahdu
52
Biola Nurmi
biola Nurmi. Merinding aku mendengar jeritan panjang
biola yang meliuk-liuk pilu, jauh, dalam, dan tegar. Nurmi
membawakannya dengan sepenuh jiwa seakan Arai
adalah pahlawan keluarganya yang baru turun dari bulan.
Juwita malum, siapakah gerangan puan
Juwita malam, dari bulankah puan ....
53
Aku dan Arai beruntung sempat melihat aksinya. Ketika
itu kami masih kelas empat sekolah dasar. la sungguhsungguh
pria tua jempolan. A Put namanya, terpesona
aku dibuatnya. Waktu itu aku menganggapnya manusia
paling hebat ketiga di dunia ini setelah ayahku dan seorang
laki-laki berjanggut lebat, senang memakai jubah,
bermata syahdu meradang yang tinggal di Jakarta dan
menciptakan lagu merdu berjudul "Begadang". Kami
merasa beruntung sempat menyaksikan kepiawaian A
Put sebab ketika ia wafat ilmunya terkubur bersama dirinya.
Tak ada yang mewarisinya. Anak cucunya malah
malu membicarakan ilmu unik A Put yang mungkin hanya
dikuasainya sendiri sejagat raya ini.
Sang Pemimpi
Siang itu A Put duduk santai mengisap cangklong.
Sarung bawahannya, kaus kutang bajunya, sandal jepit
alas kakinya, tujuh puluh tahun usianya. Pasiennya
nongkrong meringis-ringis persis anak-anak kucing tercebur
ke kolam kangkung. A Put adalah dokter gigi kampung
kami, dukun gigi lebih tepatnya. Mengaku mendapat
ilmunya dari peri tempayan, laki-laki Hokian itu
sungguh sakti mandraguna. Namanya kondang sampai
ke Tanjong Pandan. Bagaimana tidak, ia mampu menyembuhkan
sakit gigi tanpa menyentuh gigi busuk itu.
Bahkan tanpa melihatnya. Alat diagnosisnya hanya sepotong
balok, sebilah palu, dan sebatang paku. Ruang
praktiknya adalah lingkar teduh daun pohon nangka
dan ia hanya berpraktik berdasarkan suasana hati. Gigigiginya
sendiri tonggos hitam-hitam.
"Ini? Ini katamu! Aya, ya... tolol sekali! Yang betul!
Ini? Di sini? Yakin?" Begitu pertanyaan A Put pada pasiennya.
Ia menggerus-gerus permukaan balok dengan
ujung paku, mencari-cari satu titik posisi gigi yang sakit.
Maka balok itu adalah representasi gusi orang. Hebat
luar biasa. Sang pasien merasa seakan sebuah benda bergerak-
gerak dalam mulutnya, meraba setiap giginya. Ini
adalah komunikasi telepatik antara sepotong balok, sebatang
paku, seorang dukun nyentrik, dan sebuah tekak
busuk.
56
Tuhan Tahu, tapi Menunggu
Jika benda imajiner itu terasa mengenai gigi yang
sakit, sang pasien berteriak, "Yah ... hooh, hooh!! Di situ!!"
A Put serta-merta memukul kepala paku dengan
keras, menghunjamkannya ke dalam balok dan detik
itu pula byarrr! Abrakadabra! Sim salabim! Tak tahu karena
campur tangan jin, ilmu hitam, berkah sajen pada
raja setan, atau sugesti, rasa sakit pada gigi itu dijamin
lenyap saat itu juga, menguap seperti dompet ketinggalan
di stasiun, aneh binti ajaib!! Tak ada sebiji pun
obat, bahkan tak perlu membuka mulut!
Suatu ketika antrean pasien A Put telah melampaui
pagar kandang babinya. Para tetua Melayu kasakkusuk
dan pagi-pagi sekali esoknya mereka mengantar
senampan pulut panggang.
"Selamat, Dokter A Put. Pimpinlah kampung ini,
semoga sejahtera, Kawan...."
Jika A Put memakan pulut panggang itu, maka saat
itu pula ia dilantik jadi kepala kampung. Demikianlah
prosesi di kampung kami, sangat fungsional. Jika hujan
berkepanjangan, pawang hujan akan mendapat kiriman
pulut panggang. Jika buaya mulai nakal, maka dukun
buaya dinobatkan jadi kepala kampung. Jika anak-anak
Melayu banyak lahir, sang paraji, penguasa tali pusar
itu, dipastikan jadi ketua adat. A Put mendapat kehor-
57
Sang Pemimpi
matan jadi presiden kampung kami karena tahun itu
kasus borok gigi melonjak tajam.
Kepemimpinan berdasarkan perintah alam itu
berakhir sampai orang-orang Pasai membawa Islam ke
suku-suku Melayu pedalaman. Para dukun dan pawang
bangkrut pamornya digantikan oleh penggawa masjid.
Belakangan kami dikenalkan pada model demokrasi
aneh yang mungkin di dunia hanya ada di republik ini.
Petinggi di Jakarta menyebutnya Demokrasi Terpimpin!
Mengada-ada tentu saja. Sejak itu kampung-kampung
orang Melayu diserbu manusia-manusia kiriman dari
Palembang. Mereka tak kami kenal, rata-rata bergelar
B.A. Mereka menjadi camat, bupati, sampai ketua KUA.
Tapi itu pun tak lama. Segera setelah mahasiswa mengobrak-
abrik kejahiliahan penyelenggaraan negara, kami
dipimpin oleh bumiputra yang dalam pemilihan diwakili
gambar jagung, pisang, dan kacang kedelai. Para mahasiswa
yang hebat itu telah menebarkan kenikmatan
demokrasi sampai jauh ke pulau-pulau terpencil.
Saat ini Kacang Kedelai memimpin kampung kami.
la dicintai dan berkuasa karena legitimasinya penuh,
de jure hanya de jure, sebab kenyataannya penguasa tertinggi
kampung kami, tak lain tak bukan, de facto, tak
dapat diganggu gugat, tetaplah penggawa masjid.
Para penggawa masjid sangat disegani. Mereka seperti
trias politika: Taikong Hamim sang eksekutif atau
58
Tuhan Tahu, tapi Menunggu
pelaksana pemerintahan masjid sehari-hari, Haji Satar
pembuat aturan sehingga seperti lembaga legislatif, dan
Haji Hazani selaku yudikatif. Namun, dalam praktik mereka
adalah robot-robot budi pekerti yang menganggap
besi panas merupakan alat yang setimpal untuk meluruskan
tabiat anak-anak Melayu yang telah terkorupsi
akhlaknya. Mereka keras seperti tembaga. Setelah pulang
sekolah, jangan harap kami bisa berkeliaran. Mengaji
dan mengaji Al-Qur'an sampai khatam berkali-kali.
Dan jika sampai tamat SD belum hafal Juz Amma, siapsiap
saja dimasukkan ke dalam beduk dan beduknya
dipukul keras-keras sehingga ketika keluar berjalan zigzag
seperti ayam keracunan kepiting batu.
Mereka lebih kejam dari orangtua kami sebab merekalah
yang mengajari orangtua kami mengaji. Bahkan
Pak Ketua Kacang Kedelai tak berkutik pada trias politika
karena yang menyunat bapaknya, dengan kulit
bambu, adalah Taikong Hamim. Dalam budaya orang
Melayu pedalaman, siapa yang mengajarimu mengaji
dan menyunat perkakasmu adalah pemilik kebijakan
hidupmu.
Aku dan Arai sering dihukum Taikong Hamim. Karena
napasku tak panjang kalau mengaji pada suatu
subuh yang dingin, aku disuruh menimba air dan mengisi
tong sampai penuh, lalu aku dipaksa menyelam ke
dalam tong itu membawa jeriken lima liter. Leher jeriken
59
Sang Pemimpi
Dalam kancah kawah candradimuka masjid, di bawah
pemerintahan trias politika itulah, kami mengenal Jimbron.
Jimbron tak lancar berbicara. la gagap, tapi tak
selalu gagap. Jika ia panik atau sedang bersemangat maka
ia gagap. Jika suasana hatinya sedang nyaman, ia berbicara
senormal orang biasa. Jimbron bertubuh tambun.
Secara umum ia seperti bonsai kamboja Jepang: bahu
landai, lebar, dan lungsur, gemuk berkumpul di daerah
tengah. Wajahnya seperti bayi, bayi yang murung, seperti
bayi yang ingin menangis—jika melihatnya langsung
timbul perasaan ingin melindunginya.
Jimbron adalah seseorang yang membuat kami
takjub dengan tiga macam keheranan. Pertama, kami
heran karena kalau mengaji, ia selalu diantar seorang
pendeta. Sebetulnya, beliau adalah seorang pastor karena
beliau seorang Katolik, tapi kami memanggilnya
Pendeta Geovanny. Rupanya setelah sebatang kara seperti
Arai, ia menjadi anak asuh sang pendeta. Namun,
itu kecil sekali dan aku tak boleh timbul sebelum jeriken
itu penuh. Aku megap-megap dengan bibir membiru dan
mata mau meloncat. Arai lebih parah. Karena terlambat
salat subuh, ia disuruh berlari mengelilingi masjid sambil
memikul gulungan kasur. Kami terpingkal-pingkal melihatnya
berlari seperti orang kebakaran rumah.
60
Tuhan Tahu, tapi Menunggu
pendeta berdarah Italia itu tak sedikit pun bermaksud
mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah
telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid.
Nasib Jimbron tak kalah menggiriskan dengan
Arai. Dan gagapnya itu berhubungan dengan sebuah
cerita yang memilukan. Dulu bicaranya normal seperti
anak-anak lainnya. Jimbron adalah anak tertua dari tiga
bersaudara. la memiliki dua adik kembar perempuan.
Ibunya wafat ketika Jimbron kelas empat SD. Jimbron
sangat dekat dan sangat tergantung pada ayahnya.
Ayahnya adalah orientasi hidupnya. Suatu hari, belum
empat puluh hari ibunya wafat, Jimbron bepergian naik
sepeda dibonceng ayahnya, masih berkendara ayahnya
terkena serangan jantung. Konon Jimbron pontang-panting
dengan sepeda itu membawa ayahnya ke Puskesmas.
la berusaha sekuat tenaga, panik, dan jatuh bangun
terseok-seok membonceng ayahnya yang sesak napas
sambil kesusahan memeganginya. Sampai di Puskesmas
Jimbron, anak kelas empat SD itu, kehabisan napas dan
pucat pasi ketakutan. la kalut, tak sanggup menjelaskan
situasinya pada orang-orang. Lagi pula sudah terlambat.
Beberapa menit di Puskesmas ayahnya meninggal. Sejak
itu Jimbron gagap. Pendeta Geovanny, sahabat keluarga
itu, lalu mengasuh Jimbron. Kedua adik kembar perempuannya
mengikuti bibinya ke Pangkal Pinang, Pulau
Bangka.
61
Sang Pemimpi
Keheranan kami yang kedua adalah Jimbron sangat
menyukai kuda. Kata orang-orang, ini berhubungan
dengan sebuah film di televisi balai desa yang ditonton
Jimbron seminggu sebelum ayahnya wafat. Dalam
film koboi itu tampak seseorang membawa orang sakit
untuk diobati dengan mengendarai kuda secepat angin
sehingga orang itu dapat diselamatkan. Barangkali Jimbron
menganggap nyawa ayahnya dapat tertolong jika
ia membawa ayahnya ke Puskesmas dengan mengendarai
kuda.
Di kampung kami tak ada seekor pun kuda tapi
Jimbron mengenal kuda seperti ia pernah melihatnya
langsung. Jimbron adalah pemuda yang mudah mengantuk
tapi jika sedikit saja ia mendengar tentang kuda,
maka telinga layunya sontak berdiri. Jimbron segera
menjadi pencinta kuda yang fanatik. Ia tahu teknik mengendarai
kuda, asal muasal kuda, dan mengerti makna
ringkikan kuda. Ia hafal nama kuda Abraham Lincoln,
nama kuda Napoleon, bahkan nama kuda Syaidina
Umar bin Khatab. Dengan melihat gambar wajah kuda,
ia langsung tahu jenis kelamirmya. Tak ada satu pun hal
lain yang menarik di dunia ini bagi Jimbron selain kuda.
Jika kami menonton film Zorro di TV balai desa,
maka jangan tanyakan pada Jimbron jalan ceritanya. Ia
tak tahu. Tapi tanyakan jumlah kuda yang terlihat, berapa
kuda hitam dan putih, bahkan berapa kali terde-
62
Tuhan Tahu, tapi Menunggu
ngar suara kuda meringkik, ia ingat betul. Jimbron terobsesi
pada kuda, penyakit gila nomor 14.
"Kud.... Kudddaa aadd... addaalah... kendarrraan
perrranggg, Kal!!
"He... he ... hewan yang... mm... mmmemenangkan
... pph ... ppe ... pperrrang Badarrrrrrr ...."
Ia ingin melanjutkan ceritanya tapi kelelahan oleh
gagapnya. Semakin ia excited, semakin parah gagapnya.
Aku prihatin melihat mukanya. Sebuah wajah yang menimbulkan
perasaan ingin selalu melindunginya. Polos,
bersih seperti bayi. Kuduga Jimbron tak 'kan pernah
tampak tua walaupun nanti usianya tujuh puluh tahun.
"Binatang yang gagah berani Bron, hebat sekali,
aku setuju," kuringankan beban hidupnya dengan mengakui
bahwa kuda memang hebat.
Ia sumringah. Tak perlu lagi meyakinkan aku meskipun
sesungguhnya aku sudah sangat bosan. Jika berjumpa
dengannya, tak ada cerita selain kuda, dari pagi
sampai sore.
"Kita tak bisa sembarangan dengan kuda, bisabisa
kualat. Begitu kan maksudmu, Bron?"
Ah, Jimbron mengangguk-angguk, tersenyum lebar
sambil tersengal menahan kata yang terperangkap
dalam kerongkongannya, terkunci dalam gagapnya. Ia
menatapku sarat arti: aku sayang padamu, Sahabatku. Sungguh
penuh pengertian!
63
Sang Pemimpi
Dan suatu hari Taikong Hamim marah besar sebab
di meja Jimbron berserakan gambar kuda dan tak ada
lembar kosong di buku TPA-nya selain lukisan kuda. Jimbron
disuruh maju ke tengah madrasah, dipertontonkan
pada ratusan santri dan dipaksa meringkik. Matanya
yang lugu, tubuhnya yang gemuk dan bahunya yang
lungsur tampak lucu ketika tangannya menekuk di dadanya
seperti bajing. Dan kami dilanda keheranan ketiga:
Jimbron senang bukan main dengan hukuman itu.
Meskipun Jimbron gembira dengan hukuman apa
pun yang berhubungan dengan kuda, bagi kami Taikong
Hamim tetap antagonis. Beliau selalu menerjemahkan
aturan Haji Satar secara kaku tanpa perasaan. Maka dengan
segala cara, kami berusaha membalas Taikong.
Otak pembalasan ini tentu saja Arai. Cara yang paling
aman, sehingga paling sering dipraktikkan Arai adalah
mengucapkan amin dengan sangat tidak tuma'ninah. Cara
ini sebenarnya sangat keterlaluan, tapi maklum waktu
itu kami masih SD dan Arai memang memiliki bakat
terpendam di bidang nakal.
Setiap Taikong Hamim menjadi imam salat jamaah
dan tiba pada bacaan akhir Al-Fatihah: "Whalad dholiiiiiin
64
...."
Maka Arai langsung menyambut dengan lolongan
seperti serigala mengundang kawin.
"Aaammmiiinnn ... mmiiinn ... mmiiiiiiiinnnnn ...."
Tuhan Tahu, tapi Menunggu
Arai meliuk-liukkan suaranya dan terang-terangan
merobek-robek wibawa Taikong. Suaranya yang nyaring
dan parau berkumandang dengan lucu membuyarkan
kekhusyukan umat. Kami tak bisa menahan cekikikan
sampai perut kaku. Kejahatan ini aman menurut
Arai sebab Taikong tak bisa menentukan siapa pelakunya
di antara ratusan anak-anak di saf belakang. Dan
kami selalu kompak melindungi Arai. Menurut kami,
cara ini adalah pembalasan setimpal untuk Taikong.
Namun lihat saja, kejahatan ini, belasan tahun kemudian
akan diganjar Tuhan dengan tunai melalui cara yang
secuil pun tak terpikirkan oleh Arai. Taikong Hamim
memang tak tahu tapi Tuhan mencatat dan Tuhan akan
membalas. Seperti kata Anton Chekov: Tuhan tahu, tapi
menunggu.
65
Karena di kampung orangtuaku tak ada SMA, setelah
tamat SMP aku, Arai, dan Jimbron merantau ke Magai
untuk sekolah di SMA Bukan Main. Pada saat itulah PN
Timah Belitong, perusahaan di mana sebagian besar
orang Melayu menggantungkan periuk belanganya,
termasuk ayahku, terancam kolaps. Gelombang besar
karyawan di-PHK. Ledakan PHK itu memunculkan gelombang
besar anak-anak yang terpaksa berhenti sekolah
dan tak punya pilihan selain bekerja untuk membantu
orangtua.
Anak-anak yang kuat tenaganya menjadi pendulang
timah. Seharian berendam di dalam lumpur, mengaduk-
aduk aluvial, meraba-raba urat timah di bawah
Sang Pemimpi
tanah, mempertaruhkan kelangsungan hidup pada kemampuan
menduga-duga. Mereka yang kuat nyalinya
bekerja di bagian tengah laut. Pekerjaan berbahaya yang
berbulan-bulan baru bisa bertemu keluarga. Mereka
yang kuat tenaga dan kuat nyalinya siang malam mencedok
pasir gelas untuk mengisi tongkang, makan seperti
jembel dan tidur di bawah gardan truk, melingkar
seperti biawak. Anak-anak Melayu ini paling miris nasibnya.
Karena sesungguhnya setiap butir pasir itu adalah
milik ulayatnya, setiap bongkah kuarsa, topas, dan
galena itu adalah harkat dirinya sebagai orang Melayu
asli, tapi semuanya mereka muat sendiri ke atas tongkang
untuk menggendutkan perut para cukong di Jakarta
atau pejabat yang kongkalikong. Menjadi pendulang,
nelayan bagan, dan kuli pasir, berarti mengucapkan selamat
tinggal pada Tut Wuri Handayani.
Mereka yang masih bersemangat sekolah umumnya
bekerja di warung mi rebus. Mencuci piring dan
setiap malam pulang kerja harus menggerus tangan
tujuh kali dengan tanah karena terkena minyak babi.
Atau menjadi buruh pabrik kepiting. Berdiri sepanjang
malam menyiangi kepiting untuk dipaketkan ke Jakarta
dengan risiko dijepiti hewan nakal itu. Atau, seperti aku,
Arai, dan Jimbron, menjadi kuli ngambat.
Sebelum menjadi kuli ngambat kami pernah memiliki
pekerjaan lain yang juga memungkinkan untuk
68
Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum
tetap sekolah, yaitu sebagai penyelam di padang golf.
Tentu susah dipahami kalau kampung kami yang miskin
sempat punya beberapa padang golf bahkan sampai 24
hole. Dan tentu aneh di padang golf ada pekerjaan menyelam.
Orang-orang kaya baru dari PN Timah yang
tak berbakat dan datang hanya untuk menegaskan statusnya
tak pernah mampu melewatkan bola golf melampaui
sebuah danau bekas galian kapal keruk di tengah
padang golf itu. Penjaga padang golf akan membayar
untuk setiap bola golf yang dapat diambil pada kedalaman
hampir tujuh meter di dasar danau. Bola golf di
dasar danau dengan mudah dapat ditemukan karena
indah berkilauan, persoalannya, danau itu adalah tempat
buaya-buaya sebesar tong berumah tangga. Lalu kami
beralih menjadi part time office boy di kompleks kantor
pemerintah. Mantap sekali judul jabatan kami itu dan
hebat sekali job description-nya: masuk kerja subuh-subuh
dan menyiapkan ratusan gelas teh dan kopi untuk
para abdi negara. Persoalannya, lebih sadis dari ancaman
reptil cretaceous itu, yaitu berbulan-bulan tak digaji.
Sekarang kami bahagia sebagai kuli ngambat. Karena pekerjaan
ini kami menyewa sebuah los sempit di dermaga
dan pulang ke rumah orangtua setiap dua minggu.
Ngambat berasal dari kata menghambat, yaitu menunggu
perahu nelayan yang tambat. Para penangkap
ikan yang merasa martabat profesinya harus dijaga baik-
69
Sang Pemimpi
baik sampai batas dermaga, tak pernah mau repot-repot
memikul tangkapannya ke pasar ikan. Lalu yang mereka
tindas habis-habisan untuk melakukan pekerjaan sangat
kasar berbau busuk itu disebut kuli ngambat. Selain anakanak
yang tekad ingin sekolahnya sekeras tembaga, pemangku
jabatan kuli ngambat umumnya adalah mereka
yang patah harapan. Tak diterima kerja di mana-mana,
karena saking tololnya sampai tak tahu nama presiden
republik ini, atau karena saking jelek konditenya bahkan
perkumpulan calo karcis—yang juga merupakan gerombolan
bromocorah—tak mau mengajak mereka.
Setiap pukul dua pagi, berbekal sebatang bambu,
kami sempoyongan memikul berbagai jenis makhluk laut
yang sudah harus tersaji di meja pualam stanplat pada
pukul lima, sehingga pukul enam sudah bisa diserbu
ibu-ibu. Artinya, setelah itu kami leluasa untuk sekolah.
Setiap pagi kami selalu seperti semut kebakaran. Menjelang
pukul tujuh, dengan membersihkan diri seadanya—
karena itu kami selalu berbau seperti ikan pari—
kami tergopoh-gopoh ke sekolah. Jimbron menyambar
sepedanya, yang telah dipasanginya surai sehingga
baginya sepeda jengki reyot itu adalah kuda terbang pegasus.
Aku dan Arai berlari sprint menuju sekolah.
Sampai di sekolah, semua kelelahan kami sertamerta
lenyap, sirna tak ada bekasnya, menguap diisap
oleh daya tarik laki-laki tampan ini, kepala sekolah kami
70
Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum
ini, guru kesusastraan kami: Bapak Drs. Julian Ichsan
Balia. Sebagai anak-anak yang sejak sekolah dasar diajarkan
untuk menghargai ilmu pengetahuan dan seni, aku,
Arai, dan Jimbron sungguh terpesona pada Pak Balia.
Berpostur sedang, berkulit bersih, 170 cm kurang
lebih, Pak Balia selalu tampil prima karena ia mencintai
profesinya, menyenangi ilmu, dan lebih dari itu, amat
menghargai murid-muridnya. Setiap representasi dirinya
ia perhitungkan dengan teliti sebab ia juga paham di depan
kelas ia adalah center of universe dan karena yang diajarkannya
adalah sastra, muara segala keindahan. Wajahnya
elegan penuh makna seperri sampul buku ensiklopedia.
Tulang pipi yang lonjong membuatnya tampak
sehat dan muda ketika timbangannya naik dan membuatnya
berkarakter menawan waktu ia kurus. Warna cokelat
adalah sandang kesenangannya sebab seirama dengan
warna bola matanya. Ilmu yang terasah oleh usia yang
senantiasa bertambah, menjadikan dua bola kecil cokelat
yang teduh itu bak perigi yang memeram ketinggian ilmu
dalam kebijaksanaan umur.
Kreatif! Merupakan daya tarik utama kelasnya.
Ketika membicarakan syair-syair tentang laut, beliau
memboyong kami ke kampung nelayan. Mengajari kami
menggubah deburan ombak menjadi prosa, membimbing
kami merangkai bait puisi dari setiap elemen kehidupan
para penangkap ikan. Indah menggetarkan.
71
Sang Pemimpi
Tak pernah mau kelihatan letih dan jemu menghadapi
murid. Jika kelelahan beliau mohon diri sebentar
untuk membasuh mukanya, mengelapnya dengan handuk
putih kecil bersulamkan nama istri dan putri-putrinya,
yang selalu dibawanya ke mana-mana, lalu dibasahinya
rambutnya dan disisirnya kembali rapi-rapi bergaya
James Dean. Sejenak kemudian beliau menjelma lagi di
depan kelas sebagai pangeran tampan ilmu pengetahuan.
"What we do in life ..." kata Pak Balia teatrikal, "...
echoes in eternity...!! Setiap peristiwa di jagat raya ini adalah
potongan-potongan mozaik. Terserak di sana sini,
tersebar dalam rentang waktu dan ruang-ruang. Namun,
perlahan-lahan ia akan bersatu membentuk sosok
seperti montase Antoni Gaudi. Mozaik-mozaik itu akan
membangun siapa dirimu dewasa nanti. Lalu apa pun
yang kaukerjakan dalam hidup ini, akan bergema dalam
keabadian ....
"Maka berkelanalah di atas muka bumi ini untuk
menemukan mozaikmu!"
Matahari sore kuning tua berkilat di mata cokelat
Pak Balia. Sinarnya yang terang tapi lembut menghalau
sisa-sisa siang. Di lapangan sekolah kami duduk rapatrapat
merubungnya. Terpesona akan kata-katanya. Kami
lena dibelai ujung-ujung putih perdu kapas yang bergelombang
ditiup sepoi angin bak buih lautan, lena disihir
kalimah-kalimah sastrawi guru kami ini. Dan tak dinya-
72
Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum
na, apa yang dikatakan dan diperlihatkan Pak Balia berikut
ini bak batu safir yang terhunjam ke hatiku dan Arai,
membuat hati kami membiru karena kilaunya. Menahbiskan
mimpi-mimpi yang muskil bagi kami.
"Jelajahi kemegahan Eropa sampai ke Afrika yang
eksotis. Temukan berliannya budaya sampai ke Prancis.
Langkahkan kakimu di atas altar suci almamater terhebat
tiada tara: Sorbonne. Ikuti jejak-jejak Sartre, Louis
Pasteur, Montesquieu, Voltaire. Di sanalah orang belajar
science, sastra, dan seni hingga mengubah peradaban...."
Aku dan Arai tak berkedip waktu Pak Balia memperlihatkan
sebuah gambar. Dalam gambar itu tampak
seorang pelukis sedang menghadapi sebidang kanvas.
Ada sedikit coretan impresi. Dan nun di sana, di belakang
kanvas itu, berdiri menjulang Menara Eiffel seolah
menunduk memerintahkan Sungai Seine agar membelah
diri menjadi dua tepat di kaki-kakinya. Sungai itu pun
patuh. Riak-riak kecilnya membiaskan cahaya seumpama
jutaan bola-bola kaca yang dituangkan dari langit.
Pada saat itulah aku, Arai, dan Jimbron mengkristalisasikan
harapan agung kami dalam satu statement
yang sangat ambisius: cita-cita kami adalah kami ingin
sekolah ke Prancis! Ingin menginjakkan kaki di altar suci
almamater Sorbonne, ingin menjelajah Eropa sampai ke
Afrika. Harapan ini selanjutnya menghantui kami setiap
hari. Begitu tinggi cita-cita kami. Mengingat keadaan
73
Sang Pemimpi
kami yang amat terbatas, sebenarnya lebih tepat citacita
itu disebut impian saja. Tapi di depan tokoh karismatik
seperti Pak Balia, semuanya seakan mungkin.
Pak Balia mengakhiri session sore dengan menyentak
semangat kami. "Bangkitlah, wahai Para Pelopor!!. Pekikkan
padaku kata-kata yang menerangi gelap gulita
rongga dadamu! Kata-kata yang memberimu inspirasi!!"
Para Pelopor!! Panggilan Pak Balia untuk kami sebagai
siswa angkatan pertama SMA Negeri Bukan Main.
Panggilan itu senantiasa membuncahkan tenaga dalam
pembuluh darah kami.
Tangan-tangan muda Melayu serta-merta menuding
langit, puluhan jumlahnya, berebutan ingin tampil.
"Makruf!!"
Beruntung sekali, ia terpilih. Ketua Pramuka SMA
Bukan Main ini meloncat ke depan. Kata-katanya patahpatah
menggelegar seperti prajurit TNI ditanya jatah
oleh komandan kompi.
"Kaum Muda! Yang kita butuhkan adalah orangorang
yang mampu memimpikan sesuatu yang tak
pernah diimpikan siapa pun! John R Kennedy, Presiden
Amerika paling masyhur!"
"Hebat sekali, Ruf! Hebat sekali! Oke, Mahader!!"
Mahader sudah seperti cacing kepanasan dari tadi.
Seperti aku, Arai, dan Jimbron, ia termasuk dalam gelombang
besar endemik kemiskinan yang melanda anak-
74
Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum
anak para kuli timah ketika perusahaan itu mulai diintai
kolaps pertengahan 80-an. Mahader tak sabar ingin mengabarkan
pada dunia kata-kata yang membuatnya tabah
bangun setiap pukul tiga subuh untuk menggoreng getas
dan menjunjungnya keliling kampung. Wajahnya sendu
namun tegar selayaknya orang yang menanggung beban
kesusahan menghidupi adik-adiknya. Kata-katanya garau
dan syahdu, penuh tekanan seperti deklamasi.
"Kesulitan .... Seluruh kesulitan dalam hidup ini
... adalah bagian dari suatu tatanan yang sempurna dan
sifat yang paling pasti dari sistem tata surya ini....
"Pierre Simon de Laplace, bisa kita sebut sebagai
seorang astronom nomor satu ...."
Saktinya sastra, ungkapan seorang astronom dua
ratus lima puluh tahun yang lalu di negeri antah berantah
dapat menjadi penyebar semangat hidup seorang
anak Melayu tukang getas yang bahkan tak dapat menyebut
namanya dengan benar. Kami bersuit-suit mendengar
kata-kata yang berkilauan itu dan selanjutnya
tak terbendung kata-kata negarawan, ilmuwan, dan pahlawan
membanjiri kelas Pak Balia yang memesona.
"Zakiah Nurmala!!"
Ditunjuk Pak Balia membuat hidungnya kembang
kempis. la melonjak berdiri, suaranya melengking, "I
Shall return! Jenderal Douglas Mac-Arthur, pahlawan Perang
Dunia Kedua!!"
75
Sang Pemimpi
Itulah kalimat keramat yang diucapkan sang jenderal
besar itu untuk menyemangati tentara Amerika
di Filipina. Kata-kata yang membakar semangat setiap
orang hingga kini.
Tiba-tiba, tanpa diminta Pak Balia, Arai melompat
bangkit, melolong keras sekali, "Tak semua yang dapat
dihitung, diperhitungkan, dan tak semua yang diperhitungkan,
dapat dihitung!! Albert Einstein! Fisikawan nomor
wahid!"
Tinggi, runyam, membingungkan. Matanya melirik-
lirik Nurmala. Pak Balia terpana dan berkerut keningnya,
tapi memang sudah sifat alamiah beliau menghargai
siswanya.
"Cerdas sekali, Anak Muda, cerdas sekali...."
Aku tahu taktik tengik Arai. la menggunakan katakata
langit hanya untuk membuat Nurmala terkesan.
Kembang SMA Bukan Main itu telah ditaksirnya habishabisan
sejak melihatnya pertama kali waktu pendaftaran.
Meskipun seumur-umur tak pernah punya pacar
tapi Arai punya teori asmara yang sangat canggih.
"Perempuan adalah makhluk yang plin-plan, Kal,
maka pertama-tama, buatlah mereka bingung!!"
Sehebat muslihat Casanova, kenyataannya, setiap
melirik Arai, Nurmala tampak seperti orang terserang
penyakit angin duduk.
"Ikal!!"
76
Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum
Oh, Pak Balia menunjukku. Dari tadi aku tak mengacung
karena aku tak punya kata-kata mutiara. Aku tak
segera bangkit. Aku panik.
"Ya, kau, Ikal...."
Semua mata memandangku melecehkan. Tak
pernah Pak Balia harus meminta dua kali. Memalukan!
Aku gemetar karena tak siap. Tapi aku tetap harus berdiri.
Tak mungkin mengkhianati euforia kelas ini. Dan pada
detik menentukan, aku senang sekali, eureka!! Sebab
aku teringat akan ucapan seniman besar favoritku. Akan
kukutip salah satu syair lagunya. Aku berdiri tegak-tegak,
berteriak, "Masa muda, masa yang berapi-api!! Haji
Rhoma Irama!"
77
Setiap memandangi anak-anak Sungai Manggar yang
berkejaran menuju muara aku terus teringat dengan
gambar Sungai Seine dari Pak Balia dulu. Anak-anak
Sungai Manggar itu, muara, dan barisan hutan bakau
adalah pemandangan yang terbentang jika kami membuka
jendela los kontrakan kami di dermaga.
Namun, tak seindah cerita romansa Sungai Seine,
muara itu adalah muara air mata. Beberapa tahun lalu
sebuah keluarga Melayu berkebun di pulau kecil tak jauh
dari muara. Dalam perjalanan pulang, perahu mereka
terbalik. Dua hari kemudian orang melihat sosokSang
Pemimpi
sosok mengambang pelan, lekat satu sama lain, mengikuti
anak Sungai Manggar. Sang ayah, dengan kedua
tangannya, memeluk, merengkuh, menggenggam seluruh
anggota keluarganya. Istrinya dan ketiga anaknya
semuanya berada dalam dekapannya. Ia ingin menyelamatkan
semuanya. Sebuah upaya yang sia-sia. Tapi
anak tertuanya, Laksmi, selamat. Gadis kecil itu tak sadarkan
diri, tersangkut di akar-akar bakau. Sejak itu semenanjung
tempat keluarga itu ditemukan dinamakan
orang Semenanjung Ayah.
Laksmi dipungut seorang Tionghoa Tongsan pemilik
pabrik cincau dan ia bekerja di situ. Tapi seperti
Jimbron dengan Pendeta Geo, bapak asuh Laksmi justru
menumbuhkan Laksmi menjadi muslimah yang taat. Sayangnya
sejak kematian keluarganya, kehidupan seolah
terenggut dari Laksmi. Ia dirundung murung setiap hari.
Jelas, meskipun sudah bertahun-tahun terjadi, kepedihan
tragedi di Semenanjung Ayah masih lekat dalam dirinya.
Dan selama bertahun-tahun itu pula, tak pernah
lagi—tak pernah walau hanya sekali—orang melihat
Laksmi tersenyum.
Senyumnya itu sangat dirindukan semua orang
yang mengenalnya. Karena senyumnya itu manis sebab
wajahnya lonjong dan ada lesung pipit yang dalam di
pipi kirinya. Tapi kejamnya nasib hanya menyisakan sedikit
untuk Laksmi: sebuah pabrik cincau reyot, masa de-
78
Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum
pan tak pasti, dan wajahnya yang selalu sembap. Laksmi
selalu menampilkan kesan seakan tak ada lagi orang yang
mencintainya di dunia ini, padahal, diam-diam, Jimbron
setengah mati cinta padanya. Jimbron bersimpati kepada
Laksmi karena merasa nasib mereka sama-sama memilukan.
Mereka berdua, dalam usia demikian muda,
mendadak sontak kehilangan orang-orang yang menjadi
tumpuan kasih sayang. Kepedihan yang menghunjam
dalam diri mereka menyebabkan Laksmi kehilangan senyumnya,
dan Jimbron kehilangan suaranya. Mereka
berdua mengandung kehampaan yang tak terkira-kira
dalam hatinya masing-masing.
Setiap Minggu pagi Jimbron menghambur ke pabrik
cincau. Dengan senang hati, ia menjadi relawan pembantu
Laksmi. Tanpa diminta ia mencuci kaleng-kaleng
mentega Palmboom wadah cincau itu jika isinya telah kosong
dan ikut menjemur daun-daun cincau. Seperti biasa,
Laksmi diam saja, dingin tanpa ekspresi. Di antara
kaleng-kaleng Palmboom mereka berdua tampak lucu.
Jimbron yang gemuk gempal, sumringah, dan repot sekali,
hanya setinggi bahu Laksmi yang kurus jangkung,
berwajah lembut, dan tak peduli. Sering Jimbron datang
ke pabrik membawakan Laksmi buah kweni dan pitapita
rambut. Jimbron ingin sekali, bagaimanapun caranya,
meringankan beban Laksmi meskipun hanya sekadar
mencuci baskom.
79
Sang Pemimpi
Jika pembeli sepi, Jimbron beraksi. Bukan untuk
merayu atau menyatakan cinta, bukan, sama sekali bukan,
tapi untuk menghibur Laksmi. Dari kejauhan aku
dan Arai sering terpingkal-pingkal melihat Jimbron bertingkah
seperti kelinci berdiri. Tak diragukan, dia sedang
meringkik, sedang menceritakan kehebatan seekor
kuda. Laksmi semakin datar karena kuda sama sekali
asing baginya, asing bagi semua orang Melayu.
Kadang-kadang, dengan penuh semangat, Jimbron
memamerkan aksesori baru sepeda jengkinya pada
Laksmi yaitu sadelnya yang ia buat seperti pelana kuda.
Kulit kambing didapatnya dari beduk apkir. Lengkap
pula dengan kantong kecil untuk menyelipkan senapan
meski kenyataannya diisinya botol air. Atau sepatunya
yang ia pasangi ladam jadi seperti sepatu kuda, atau
aksesori berupa tanduk sapi yang diikatkan pada setang
sepedanya. Laksmi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sering Jimbron menghampiri Pak Balia untuk meminta
cerita-cerita komedi. Bersusah payah, terbata-bata,
Jimbron membaca cerpen "Lelucon Musim Panas"
karya Alberto Moravia atau "Karma" karya Khushwant
Singh untuk Laksmi, Laksmi tetap saja murung. Jimbron,
aku, Arai, atau siapa pun, bagaimanapun kami telah
mencoba, tak pernah sekali pun berhasil memancing
senyum Laksmi. Laksmi telah lupa cara tersenyum. Se-
80
Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum
nyum Laksmi telah tertelan kegelapan nasibnya. Jika
mendengar kami mengisahkan fabel dan parodi, Laksmi
memalingkan wajahnya, miris memandang langit, gamang
melalui hari demi hari, perih memandang sulursulur
anak Sungai Manggar di Semenanjung Ayahnya.
Bertahun-tahun sudah Jimbron berusaha menarik
Laksmi dari jebakan perangkap kesedihan. Tapi Laksmi
seperti orang yang sudah terjebak jiwanya. Kami mulai
cemas, sekian lama dalam kungkungan duka yang gulita,
jangan-jangan Laskmi mulai tergantung pada perasaan
yang mengharu biru itu, bahkan mulai menyukainya.
Seperti veteran Perang Vietnam yang kecanduan
pada rasa takut. Menurut kami, sudah saatnya Laksmi
ditangani orang yang ahli. Setiap kami singgung kemungkinan
itu pada Jimbron, dengan tujuan agar ia tidak
kecewa, agar tak terlalu memendam harap, ia terpuruk,
terpuruk dalam sekali.
"Aku hanya ingin membuatnya tersenyum...," katanya
berat.
81

Tidak ada komentar: